Tokoh

Inilah Para Politisi Perempuan NU Generasi Awal

Senin, 18 Desember 2017 | 07:12 WIB

Inilah Para Politisi Perempuan NU Generasi Awal

Foto olahan dari Parlaungan

Nahdlatul Ulama (NU) memberi ruang yang cukup luas untuk kalangan perempuan. Ketika ada badan otonom yang khusus laki-laki, misalnya, pasti juga dibentuk badan otonom yang khusus perempuan. NU memiliki keyakinan bahwa kaum ibu memiliki peran tak kalah pentingnya dengan kaum bapak, baik dalam membangun bangsa dan negara, maupun dalam bidang agama. 
 
Pemahaman NU yang akomodatif terhadap kaum perempuan tersebut, juga tercermin dalam ranah politik. Saat NU menjadi partai politik pada 1952 dan terlibat langsung dalam pemilihan umum 1955, kaum perempuan diberi ruang yang cukup luas untuk terlibat. Hal ini terbukti dari jumlah anggota DPR hasil Pemilu 1955 tersebut. 
 
Dari tiga partai yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 1955 itu, Partai NU memiliki jumlah terbesar dalam keikutsertaan perempuan. PNI dan Masyumi yang sama-sama mengantarkan 57 tokohnya sebagai anggota, hanya empat orang perempuan yang ikut. Sedangkan NU yang mengantarkan 45 orang di parlemen, lima di antaranya adalah perempuan. 
 
Kelima perempuan tersebut, merupakan generasi pertama para politisi perempuan di kalangan NU. Siapa saja mereka? 
 
1. Asmah Sjachrunie
Asmah Sjachrunie merupakan politisi kelahiran Rantau, Kalimantan Selatan, 28 Februari 1928. Sejak muda ia telah aktif dalam kegiatan sosial. Lulusan Kjoin Joseidjo itu, terlibat dalam dunia pendidikan sejak era Jepang. Mulai dari menjadi guru bantu di Futsu Tjo Gakko di Rantau I, hingga dipercaya menjadi Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III. 
 
Aktivitas Asmah di dunia pendidikan terus berlanjut saat Indonesia telah merdeka. Ia tercatat ikut membantu mengajar di Sekolah Rakyat VI, mulai Rantau III, Batu Kulur Kandangan sampai Ulin Kandangan. Aktivitas mengajar ini, berlangsung hingga 1954.
 
Selain berkecimpung di dunia pendidikan, Asmah juga aktif dalam dunia militer. Di era Jepang, ia ikut dalam barisan Fujinkai (para militer perempuan). Sedangkan di era kemerdekaan, tepatnya tahun 1948-1949, ia juga tercatat sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia. Meski saat itu, ALRI belum menjadi kesatuan yang resmi. 
 
Di NU sendiri, Asmah terlibat aktif dalam Konsulat NU wilayah Kalimantan Selatan. Ia aktif sejak tahun 1952 dalam naungan Nahdlatoel Oelama Muslimat (NOM) yang sekarang dikenal dengan Muslimat NU di Kalimantan Selatan. Aktivitasnya di NU inilah, yang mengantarkannya menjadi politisi di parlemen. Ia terpilih menjadi anggota parlemen dari dapil Kalimantan Selatan dengan nomor anggota 239. Tak hanya itu, ia juga tiga kali berturut-turut menjadi ketua umum Muslimat. 
 
2. Mahmudah Mawardi
Nama Mahmudah Mawardi erat kaitannya dengan Muslimat NU. Ia terpilih menjadi Ketua Umum Muslimat NU hasil kongres Ke-IX 1967. Pengabdiannya sendiri dalam gerakan perempuan di lingkungan NU, telah dirintisnya sejak Muslimat NU belum didirikan. Perempuan kelahiran Solo, 1912 itu, aktif sejak usianya belum genap 20 tahun. 
 
Pada 1931 ia mendirikan organisasi wanita lokal di Solo. Organisasi tersebut diberi nama Nahdlatul Muslimat. Salah satu gerakannya adalah mendirikan lembaga pendidikan. Mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Nahdlatul Muslimat. Di sekolah terakhir ini, Mahmudah terdaftar menjadi tenaga pengajar sejak 1953.
 
Sebelum terlibat di dunia politik, Mahmudah juga pernah berkarir di dunia birokrasi. Pada 1952 ia menjadi pegawai Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah. Lalu, dua tahun kemudian, ia menjadi pegawai Kementerian Agama di Jakarta. 
 
Setelah terpilih menjadi anggota parlemen dengan nomor anggota 85, Mahmudah terlibat aktif dalam penyusunan RUU Perkawinan. Ia menjadi juru bicara fraksi NU. Dalam RUU yang diajukan oleh Nyonya Sumari dari fraksi PNI tersebut, dikritisi habis-habisan oleh politisi lulusan Madrasah Sunnayah dan Pesantren Keprabon, Solo itu. 
 
NU dan Masyumi menolak RUU Perkawinan yang dinilai banyak menyimpang dari aturan syara' tersebut. Sedangkan PNI dan PKI berada di pihak yang mendukung. Setelah melalui perdebatan sengit di sidang parlemen, akhirnya RUU tersebut dinyatakan tertolak. 
 
3. Mariam Kanta Sumpena
Selain Mahmudah Mawardi, dari Dapil Jawa Tengah juga mengantarkan Mariam Kanta Sumpana sebagai anggota Fraksi NU pada Pemilu 1955 itu. Meski terpilih dari Jawa Tengah, namun ia sebenarnya banyak berkiprah di Jawa Barat. 
 
Mariam lahir di Tasikmalaya di penghujung Agustus, 1927. Ia menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Rakyat Gadis, Perguruan Muchtariah hingga Tamhidul Mu'allimin.
 
Setelah menyelesaikan masa belajarnya, Mariam mengajar di Bandung. Pada 1941 - 1945, ia mengajar agama di Sekolah Rakyat Nomor 39. Kemudian pada 1951 - 1956, ia pindah mengajar agama Sekolah Rakyat Raden Dewi. Di sela-sela aktivitasnya di sekolah, Mariam juga menjadi ketua di organisasi wanita. Pada 1942 - 1946, menjadi ketua umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia Puteri di Bandung. Sekaligus juga menjadi ketua umum Pemudi NU Cabang Bandung. 
 
Kegiatannya dalam dunia politik, telah dirintis Mariam sejak era NU gabung Masyumi. Pada 1947 - 1951, ia menjabat sekretaris Masyumi daerah Priangan. Di saat yang sama ia juga menjadi sekretaris Muslimat NU Cabang Bandung. Pada 1951, ia naik menjadi wakil ketua konsul Muslimat Jawa Barat. Jabatan terakhir tersebut, dijabat hingga ia terpilih menjadi anggota parlemen dengan Nomor 195.
 
4. Marjamah Djunaidi
Tak banyak data yang tercatat tentang sosok Marjamah Djunaidi ini. Anggota parlemen dengan nomor urut 207 tersebut, lahir di Jember pada 15 September 1922. Pendidikannya ia rengkuh hanya dari pengajian langgaran di kampung halamannya dan juga di Taman Siswa. 
 
Sebenarnya, Marjamah telah terlihat sebagai perempuan aktif sejak muda. Di masa Belanda, ia menjadi anggota KBI. Selain itu juga masuk dalam organisasi Indonesia Muda. Di NU sendiri, ia aktif di Muslimat. Saat terpilih dari Dapil Jawa Timur, ia merupakan mantan Ketua Konsul Muslimat Jawa Timur. 
 
5. Hadinijah Hadi Ngabdulhadi
Sebenarnya, Hadinijah Hadi Ngabdulhadi tidak terpilih secara langsung dalam Pemilu 1955. Ia menggantikan Haji Fatah Jasin yang berhalangan tetap sebagai anggota parlemen. Ia terpilih dari Dapil Jawa Timur. 
 
Meski terpilih dari Dapil Jatim, Hadinijah memiliki pengalaman yang lintas daerah. Ia sendiri terlahir di Purwokerto, 5 Januari 1928. Kemudian menempuh pendidikan di Muallimat dalam Sekolah Guru Puteri Islam. Kemudian, ia pindah ke Barabai, Kalimantan Selatan. 
 
Di Barabai tersebut, Hadinijah aktif mengajar di Sekolah Rakyat Islam Haruyan sejak 1945 hingga 1947. Kemudian pindah mengajar di Muallimat Barabai hingga 1949. Selain sibuk mengajar, Hadinijah juga terlibat dalam organisasi kewanitaan. Ia pernah menjabat Ketua Cabang Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) Barabai. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua Cabang Gappika (Gerakan Pemuda Pemudi Kalimantan) Barabai. 
 
Pada 1950, Hadinijah pindah ke Desa Balong, Kecamatan Kandat, Kediri, Jawa Timur. Di tempat baru ini, ia kembali mengajar di Sekolah Rakyat Islam di kampung barunya tersebut. Pada saat yang bersamaan ia juga aktif dalam kepengurusan Konsul Muslimat NU Jawa Timur. Sebenarnya, pada Pemilu 1955, Hadinijah justru menjadi Panitia Pemilu sebagai Wakil Ketua PPS Kecamatan Kandat, Kediri sebagai utusan dari Partai NU. Pada saat itu, memang diperbolehkan utusan partai untuk terlibat dalam kepanitiaan. Namun, justru ia yang menjadi anggota parlemen saat terjadi pergantiaan. Posisinya sebagai Ketua Konsul Muslimat NU Jatim itulah, yang menjadi pertimbangannya. 
 
Sebenarnya, selain kelima anggota DPR di atas, pada masa awal NU menjadi partai politik tersebut, ada juga beberapa politisi perempuan di kalangan NU yang berkiprah di tingkat Nasional. Mereka adalah orang-orang yang terpilih sebagai anggota konstituante. Ada enam politisi perempuan NU yang terpilih. 
 
Keenam anggota konstituante dari perempuan nahdliyin tersebut antara lain: Ny. H. Saifuddin Zuhri (wakil Jawa Tengah), Ny. Adiani Kertodirdjo (wakil Jawa Timur), Ny. Ratu Fatimah (wakil Jawa Barat), Ny. Abidah Mahfudz (wakil Jawa Timur), Ny. Nihayah Maksum (wakil Jawa Timur), dan Ny. Zamrud Ya'la (wakil Sulawesi Selatan).
 
Merekalah para politisi perempuan nahdliyin generasi awal. Kehadirannya tak sekadar melengkapi struktur, tapi juga memiliki peran yang cukup signifikan. Ia turut mewarnai kancah politik guna membangun bangsa dan negara.
 
 
Ayung Notonegoro, penggiat sejarah pesantren dan NU di Banyuwangi, aktif di Komunitas Pegon
 
 
Sumber: 
1. Parlaungan, Hasil Rakjat Memilih; Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama - 1955), CV. Gita, Jakarta: 1956.
2. ---, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, PP Muslimat NU, Jakarta: 1979.
3. ---, Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh dan Khazanah Pesantren.