Warta

Acuan Jihad harus "Dibumikan" Sesuai Jaman Sekarang

Rabu, 23 November 2005 | 05:28 WIB

Magelang, NU Online
Berbagai acuan tentang jihad bunuh diri harus "dibumikan" sesuai konteks jaman sekarang supaya tidak disalahgunakan seperti yang dilakukan teroris.

"Yang terpenting bagaimana kita membumikan kembali dalil-dalil yang dekat dengan jihad bunuh diri seperti kisah Ghulam, Iklima bin Abu Jahal dan hadits bahwa perang itu licik, itu memang dekat dipakai dasar jihad bunuh diri, padahal itu konteksnya jaman dahulu. Karenanya harus dibumikan sesuai jaman sekarang," kata Anggota Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah KH Ahmad Nur Abdul Madjid, Lc di Magelang, Selasa.

<>

Sejumlah hadits tentang heroisme pada masa lalu, katanya, jangan sampai disalahgunakan pada jaman sekarang seperti halnya untuk melegitimasi aksi bom bunuh diri para teroris.

Ia juga menyatakan pentingnya suatu kajian kembali atau tafsir baru hadits-hadits tentang jihad secara mendalam, komprehensif dan kontekstual karena suatu dalil tidak bisa serta merta diambil apa adanya. "Jangan sampai pengkajian hanya semata untuk menanggapi kabar yang sedang ramai atau malah dipakai untuk meramaikan, setelah itu bubar dan tidak ada lanjutannya," katanya.

Momentum kajian kembali terhadap hadits-hadits yang terkait jihad, katanya, saat ini tepat sebagai upaya "berkaca diri". "Saya kira ini adalah momen yang yang baik bagi kita untuk berkaca diri, sejauh mana perhatian kita terhadap hikmah-hikmah yang terkandung dalam sebuah kisah masa lalu seperti terkandung dalam hadits-hadits atau ayat-ayat dalam Al Quran, untuk dapat dimanfaatkan pada jaman modern sekarang," katanya.

Pada kesempatan itu Madjid yang lulusan Islamic University of Madinah Tahun 1982 menyatakan, tidak setuju dengan model jihad yang dilakukan para teroris karena konteksnya berbeda antara jaman dahulu dengan sekarang. Hingga saat ini, katanya, terlihat belum ada orang atau pihak tertentu yang menyuarakan secara mendalam tentang alasan tindakan teror bunuh diri yang tidak terpuji.

Secara eksplisit, katanya, tidak ada perintah atau imbauan berjihad dengan cara bunuh diri. Perintah jihad yang jelas antara lain dari ayat Allah yang bunyinya tentang berjihad di jalan Allah dengan hartamu dan ragamu.

"Jihad dengan harta jelas perintahnya misalnya sedekah, wakaf dan zakat namun makna berjihad dengan ragamu apakah dengan cara bunuh diri semacam itu? Tidak begitu, itu tafsir yang salah kaprah," katanya.

Mungkin, katanya, para teroris itu mengganggap diri berjihad dengan dasar hadits Bukhari yang bunyinya menyangkut perang itu licik. Hadits itu sahih dan kebenarannya tidak perlu diragukan.

Hadits Bukhari Kitab 5-6 Bab 157 itu, jelasnya, bunyinya "Sungguh kamu mempunyai tubuh satu, tubuhnya sendiri bukan orang lain, berusahalah dengan strategi cerdas (dalam perang) selagi kamu mampu, sebab perang itu licik". Ikhwal itu juga tertulis dalam Shahih Muslim Kitab 32. Hadits ini muncul ketika Perang Ahzab atau Perang Parit dengan tokoh Nuim bin Mas’ud.

Jika hadits itu menjadi acuan jihad bunuh diri sekarang, katanya, itu tindakan salah sebab tafsir bunuh diri sebagai siasat perang untuk menghancurkan lawan, syaratnya terlebih dulu ada maklumat perang secara valid dari dua atau lebih negara yang bertikai.

Atau, katanya, suatu negara memaklumatkan perang dengan negara lain maka jihad bunuh diri sebagai ikhwal sah. Mungkin Amerika Serikat yang menyatakan perang melawan terorisme itu telah dianggap sebagai maklumat perang oleh mereka yang jihad bunuh diri.

Kemungkinan lain, katanya, mereka (Anggota jaringan teroris,Red) jihad bunuh diri berdasarkan kisah Ghulam pada jaman pasca Nabi Isa Al Masih dan sebelum Nabi Muhammad yang menyerahkan diri untuk dibunuh raja di hadapan khalayak dengan panah. Raja itu tidak mengakui Allah bahkan mengganggap diri sebagai Tuhan. Ghulam, katanya, rela dibunuh raja asalkan raja itu terlebih dahulu mengucap "Bismilahi rabbil Ghulam" (Saya menyebut nama Allah yang menjadi Tuhannya Ghulam).

Ketika raja mengucapkan ikhwal itu dan melepaskan anak panah ke Ghulam disaksikan rakyatnya, katanya, artinya dirinya bukan Tuhan dan dirinya mengakui adanya Allah sehingga rakyat menyatakan beriman kepada Allah.

"Raja dikalahkan siasat Ghulam yang rela dipanah dan mati. Ghulam rela mati menyelamatkan keimanan rakyat. Kisah itu masyur, sangat heroik dan bahkan Al Quran mengabadikan dalam Surat Al Buruuj," katanya.

Penjelasan hadits tentang Ghulam itu tertulis dalam Sarh Riyadl Al-Shalihin" Dalil Al Falihin halaman 153-162 karangan Muhammad bin ’Alan Ash-Shidiqiy (1057 H). 

Kemungki