Warta JELANG MUNAS DAN KONBES SURABAYA

Dalam NU Hukum Tidak Diputuskan Sendirian

Kamis, 20 Juli 2006 | 03:52 WIB

Jakarta, NU Online
Para ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) tidak terbiasa memberikan fatwa atas nama pribadi. Semua produk hukum agama yang akan difatwakan sebelumnya telah dibahas terlebih dahulu. Dikenal tradisii “Bahtsul Masail” sebagai forum pembahasan persoalan hukum agama secara bersama-sama.

“Kebiasaan NU itu tidak bisa putuskan hukum secara sendirian. Semuanya dilakukan secara jama’i atau kolektif melalui forum Bahtsul Masail,” kata Kholil Nafis, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU di Jakarta, Kamis (20/7), di sela-sela persiapan Munas dan Konbes di Surabaya (27-30 Juli).

<>

Sebagaimana dalam draft, dalam Munas di Surabaya nanti para kiai akan membahas tentang mekanisme pengambilan keputusan hukum melalui istinbath jama'i atau upaya kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan menggunakan qawaid ushuliyah (kaidah dasar). Ini terkait dengan persoalan hukum yang belum tertera secara jelas dalam kitab-kitab fikih.

Adanya metode pengambilan hukum dengan cara istinbath jama'i adalah hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim-Ulama (Munas) 1992 di Bandar Lampung. Namun Munas Lampung belum meberikan petunjuk teknisnya. Sedianya akan dibahas dalam forum Muktamar XXXI di Boyolali, Jawa Tengah, 2004, hanya saja tidak terlaksana.

“Ini adalah dalam rangka menjawab persoalan keagamaan yang terus berkembang, sementara teks rujukan (maraji') tidak sepenuhnya dapat menjawabnya. Banyak permasalahan yang belum terjawab karena terbatasnya qaul ulama,” kata Nafis.

Selain istinbath jama'i akan dibahas juga petunjuk teknis taqrir jama'i atau upaya kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa pendapat. Munas juga akan membahas kembali tentang ilhaqul masail binadhairiha atau menyamakan hukum suatu kasus dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab.

“Terkait ilhaq al masail binadhairiha, sebenarnya itu agak mirip dengan qiyas Imam Syafi’i (Mengambil hukum dengan cara membandingkannya dengan hukum asal, al-Qur’an dan Hadits, melalui penyamaan penyebab (illat); biasa disebut silogisme: Red) Hanya saja, NU tidak berani menyebutnya qiyas karena yang digunakan sebagai perbandingan hanyalah hukum cabang,” kata Nafis.
 
Munas diharapkan dapat menelorkan beberapa keputusan penting menyangkut persolan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, memberikan solusi dan pandangan masa depan yang lebih baik.

“Analisis sosial, politik, budaya dan seterusnya juga akan menjadi penekanan penting dalam proses pengambilan hukum. Jadi tidak hanya terpacu pada teks atau qoulan saja.” tambah Nafis. (nam)