Warta

FPKB MPR Minta Negara Tangani Kekerasan Agama

Kamis, 20 Januari 2011 | 07:45 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua FPKB MPR RI HM Lukman Edy meminta pemerintah berperan di tengah terjadinya kekerasan dan konflik agama yang masih meningkat pada tahun 2010 ini dan di masa-masa mendatang . apalagi dalam pelanggaran agama tersebut sebanyak 65 % dilakukan oleh penyelenggara negara khususnya terkait pelarangan dan pemaksaan keyakinan beragama.

“Jadi, Negara harus hadir dan menangani kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang selama ini terkesan dibiarkan. FKB MPR pun akan mengawal itu dengan bersandar pada garis perjuangan NU yang berpijak pada toleransi (tasamuh), tawassuth (moderat) dan ta’addul (keadilan),” tandas Lukman Edy dalam dialog “Membangun Toleransi Antarumat Beragama di Indonesia” bersama Hj. Musdah Mulia (ICRP), Favor Adeleide B (PGI) dan Mirajuddin (Ahmadiyah) di Kampus UIN Syahid Jakarta , Kamis (20/1).

Yang pasti lanjut Lukman Edy, da<>lam pasal 29 UUD RI 1945 masih ada ruang kosong dalam konstitusi terkait fakta kerukunan dan keyakinan beragama itu belum selesai. Di mana konflik dan kekerasan agama masih terjadi sampai hari ini. Oleh sebab itu, peran Negara itu harus dikukuhkan dengan mengamandemen pasal 29 UUD RI 1945 tersebut agar tidak terkesan membiarkan kekerasan agama tersebut.

Menurut Musdah Mulia, selain lima agama yang diakui oleh Negara, ternyata masih ada agama atau aliran lain selain Islam, Kristen, Protestasn, Hindu dan Budha. Yaitu agama Tao, Syikh, Bahai, Yahudi dan lainnya serta baru Konghucu yang diakui negara semasa pemerinatahan KH Abdurrahman Wahid. Langkah Gus Dur itu benar. Selain dijamin oleh konstitusi, juga tidak bertentangan dengan ajaran Islam sendiri.

“Seharusnya yang dikedepankan adalah kesamaan-kesamaan. Bukan perbedaan. Tapi, yang muncul adalah perbedaan karena sejak kecil kita sudah ditanmkan dengan bibit-bibit perbedaan, kebencian, kemarahan dan permusuhan pada orang lain yang dianggap berbeda. Dan itu diperkuat dengan berbagai fatwa,”ujar Musdah kecewa.

Dengan demikian, melalui pluralisme yang tidak hanya sekedar berbeda, tapi harus saling menghormati, menghargai dan kerjasama membangun kebersamaan untuk kepentingan bangsa dan Negara yang lebih besar. “Untuk itu tidak benar kalau pluralisme diartikan sebagai penyatuan semua keyakinan agama,” kata Musdah Mulia lagi.

Sementara itu Favor Adeleide dan Mirojuddin sepakat untuk terciptanya kedamaian dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara, maka seluruh kekuatan agama harus sering melakukan dialog. Sebab kata Favor, dengan masih terjadinya kekerasan agama ini, banyak yang mempertanyakan, “Masih bisakah kita hidup berdampingan?”

Pelanggaran agama terkait pembiaran 14 kasus (22%), pelarangan kegiatan ibadah dan ekspresi keyakinan 5 (8%), pelarangan pembatasan rumah ibadah 19 kasus (30 %), terkait pelarangan/pemaksaan keyakinan agama sebanyak 25 kasus (40%). Dan dari pelanggaran itu banyak dilakukan oleh pemerintah: yaitu Kemenag 1, TNI 5 (6%), kepolisian 31 (36%), aparat/kecamatan/kelurahan 7 (6%), Bakorpakem 1, dan pemerintah pusat 1. (amf)