Warta

Gus Mus: Konflik Kiai Bukan Perpecahan

Selasa, 3 April 2007 | 06:08 WIB

Sumenep, NU Online
Budayawan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) menilai, konflik politik yang terjadi di kalangan kiai dan ulama Nahdlatul Ulama (NU), pada dasarnya bukanlah suatu perpecahan. Konflik yang belakangan memunculkan istilah Kiai Kampung, Kiai Khos dan Kiai Langitan, menurutnya hanyalah sebuah perbedaan pendapat.

“Kalau saya, agar tidak bingung dan pusing, saya bilang bukan perpecahan. Saya anggap perbedaan pendapat saja. Kalau di atas tidak mau ngalah, ya kita di bawah yang ngalah,” ujar Gus Mus beberapa saat sebelum menjadi narasumber pada Dialog dan Orasi Budaya di Gedung Nasional Indonesia, Sumenep, Jawa Timur, Senin (2/4) kemarin.

<>

Cara mengalah, sambung Gus Mus yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, itu, yakni berusaha menerjemahkan perilaku pemimpin-pemimpin tersebut sebagai perbedaan pendapat. “Jadi, kalau perbedaan pendapat, itu wajar sekali,” katanya.

Ketika terjadi adu kekuatan dan massa, Gus Mus juga menganggap wajar. Alasannya, orang yang berbeda pendapat akan selalu mempertahankan pendapatnya masing-masing, dengan cara apa pun. “Oleh karena itu, kita mengharapkan dan berdoa, itu bukan suatu perpecahan, tapi hanya perbedaan pendapat,” tandasnya.

Hanya, menurut Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu, perbedaan pendapat itu sulit disatukan. “Apalagi masing-masing yang berbeda pendapat itu tidak bertemu, bagaimana mempersatukan?” tukasnya.

Untuk itu, dia meminta kepada masyarakat bawah untuk memahami masalah yang terjadi tersebut sebagai sebuah perbedaan pendapat. “Minta kepada masyarakat bawah lebih mudah, daripada minta yang di atas. Urusan mereka jika mau selesai atau tidak. Kalau mereka mau selesai, mereka bisa bertemu, kan gampang,” paparnya.

Menurut dia, kebanyakan persoalan dan konflik itu terjadi, karena budaya tabayyun atau bertanya, sudah banyak ditinggalkan. “Mestinya harus tabayyun,” ingatnya.

Tentang adanya anggapan kiai lebih baik tidak berpolitik, Gus Mus berpendapat, siapa pun boleh berpolitik, termasuk kiai. “Kiai mana yang tidak boleh dan boleh berpolitik? Yang ngerti politik, ya silakan berpolitik, kalau tidak ngerti (politik), ya tidak usah,” ujarnya.

Dikatakan, ada bidang-bidang yang juga tidak kalah mulianya dengan politik. Seperti mendidik santri, mengayomi rakyat kecil, dan memikirkan orang bawah.

Dalam kesempatan itu, Gus Mus memaparkan, negara ini telah dipimpin dengan dua panglima. Yaitu, panglima politik pada saat Orde Lama dan panglima ekonomi ketika Orde Baru. Tapi ternyata, ketika reformasi saat ini, negara ini kembali dipimpin panglima politik.

“Saya pikir kok tidak kreatif orang Indonesia. Panglimanya kok politik dan ekonomi. Kenapa kok tidak sekali-kali panglimanya budaya,” kritiknya.

Gus Mus juga secara simbolis mencanangkan Gerakan Budaya Cinta Rasul dengan memukul beduk dan memotong nasi tumpeng atau yang dikenal orang Madura nasè’ rasol. Dengan pencanangan itu, dia berharap, dari Sumenep, budaya akan menjadi panglima di Indonesia.

Madura yang cukup banyak memiliki pondok pesantren dan juga santri, dia yakin, masyarakat tidak perlu lagi mencanangkan budaya cinta Rasul. “Tapi yang perlu dilakukan adalah budaya Rasulllah. Rasul ini manusia yang memanusiakan manusia. Banyak pemimpin saat ini yang kelihatannya manusia, tapi tidak ngerti manusia,” sindirnya. (gpa/sbh)