Warta HALAQOH KEBANGSAAN

Indonesia Terancam Disintegrasi

Sabtu, 24 Juni 2006 | 10:38 WIB

Malang, NU Online
Bangsa Indonesia, saat ini, sedang terancam oleh disintegrasi. Upaya sebagian kelompok untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, mengubah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta upaya melepaskan diri dari NKRI, menjadi indikasi nyata atas ancaman keutuhan bangsa Indonesia.
 
Demikian wacana yang mengemuka dalam Halaqoh Kebangsaan bertajuk "Meneguhkan Kembali NKRI: Kajian Potensi Disintegrasi Bangsa" di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hikam, Malang, Jawa Timur, Sabtu (24/6).

<>Acara yang digelar selama sehari penuh di Ponpes pimpinan KH Hasyim Muzadi itu dilakukan dalam rangka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Surabaya, 27 Juli mendatang.
 
Hadir sebagai pembicara pada sesi pertama seminar tersebut, mantan KSAD Jenderal TNI Purn Ryamizard Ryacudu, Politisi PKB Ali Masykur Moesa, Sejarawan Aswiwarman Adam dan Ketua PBNU KH Said Aqiel Siradj.
 
Ryamizard dalam pengantarnya mengatakan dengan tegas, jika ada upaya dari sebagian kelompok yang ingin melepaskan dari NKRI dan berupaya mengganti Pancasila sebagai ideologi negara, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap kesepakatan bersama dari bangsa Indonesia. Tindakan itu, imbuhnya, juga merupakan pelanggaran terhadap Sumpah Pemuda 1928.
 
“Kalau ada yang ingin melepaskan dari NKRI, itu pengkhianatan terhadap kesepakatan bersama bangsa ini. Sekarang kalau ada yang ingin mengganti Pancasila dan NKRI, berarti telah melanggar Sumpah Pemuda; Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa,” terang jenderal yang juga mantan Pangkostrad ini.
 
Ryamizard menjelaskan, bangsa Indonesia perlu memahami kembali identitas kebangsaan. “Siapa yang disebut bangsa Indonesia, kita harus mengerti. Bangsa Indonesia adalah suku-suku; Batak, Sunda, Jawa, dan sebagainya. Bangsa Indonesia adalah orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain,” terangnya.
 
Senada dengan Ryamizard, Ali Masykur Moesa mengatakan, saat ini identitas keberagaman dari pada bangsa Indonesia dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk memecah belah persatuan dengan memunculkan wacana federalisme. Padahal menurutnya, keberagaman itulah, dalam sejarahnya, yang justru mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa.
 
“Heterogenitas dan pluralitas itulah yang selama ini mempersatukan bangsa Indonesia. Kalau NKRI ini ada yang mau merubah dengan konsep federalisme, maka asing akan dengan mudah mengacak-acak bangsa Indonesia,” terang Ali Masykur yang juga adik kandung Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini.
 
Sementara itu, Said Aqiel Siradj menegaskan tentang tidak perlunya penggantian terhadap Pancasila dan NKRI serta UUD 1945. Wacana sebagian kolompok yang menginginkan Pancasila sebagai ideologi diganti dengan Islam, menurutnya, tidak perlu dilakukan. “Islam itu cukup dihayati dan diamalkan, tidak perlu menjadi ideologi sebuah negara,” tandasnya.
 
Said Aqiel mencontohkan sikap yang perlu diteladani dari Nabi Muhammad melalui Piagam Madinah. Menurutnya, tidak ada satu pun kata Islam dan kutipan ayat al Qur’an yang tercantum dalam piagam yang berisi 47 poin tersebut. Hal itu, katanya, menunjukkan bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad sangat menghargai perbedaan, baik perbedaan suku, bangsa maupun agama.
 
Sedikit berbeda, Asvi Warman Adam mengatakan, negara perlu memerhatikan aspek pertahanan atas ancaman dari luar. Pertahanan yang ia maksud adalah peran Tentara Nasional Indonesia (TNI). “TNI penting perannya sebagai pembela negara, menjaga keutuhan NKRI dari ancaman luar,” ujarnya.
 
Oleh karena itu, ia mensyaratkan adanya peningkatan anggaran kemiliteran. Hal itu, menurutnya, harus juga dilakukan sebagai konsekuensi atas tuntutan dari masyarakat bahwa militer harus mengurangi aktivitas bisnisnya. “Anggaran militer harus dinaikkan sebagai konsekuensi mengurangi kegiatan bisnisnya sebagaimana dilakukan pada zaman Orde Baru dan juga saat ini,” terangnya. (rif)