Warta

Kang Said Pertanyakan Status MUI, Ormas atau Majelis Fatwa

Jumat, 30 November 2007 | 10:52 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mempertanyakan status Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurutnya, lembaga tersebut tidak jelas statusnya, sebagai organisasi kemayarakatan Islam atau majelis fatwa. Sementara, perannya ia nilai terlalu besar.

“Kalau ormas, mana massanya. Kalau sebagai semacam majelis fatwa, tapi kok terlalu lebar dan besar perannya,” gugat Kang Said—begitu panggilan akrabnya—kepada NU Online di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (30/11).<>

Menurut Kang Said, perannya terasa semakin begitu besar menyusul munculnya sejumlah aliran ‘sesat’ yang marak belakangan ini. Lembaga tersebut, katanya, begitu mudah memutuskan dan mengeluarkan “fatwa sesat” terhadap sebuah aliran yang dinilai menyimpang.

Tak hanya kepada aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq yang difatwa sesat beberapa waktu lalu, tetapi juga kepada beberapa paham, ajaran atau aliran yang dianggap di luar kebiasaan. Parahnya lagi, katanya, fatwa tersebut dikeluarkan seakan-akan tanpa pengkajian mendalam terlebih dahulu.

Alumnus Universitas Ummul Qurra’, Mekah, Arab Saudi, itu membandingkan keberadaan MUI dengan mufti di Arab Saudi. “Mufti di Arab Saudi itu statusnya sebagai majelis fatwa, bukan ormas. Tapi mereka mengeluarkan satu fatwa setiap tahun. Berbeda dengan MUI, yang bisa mengeluarkan 11 fatwa dalam satu tahun. Itu pun fatwanya haram semua,” terangnya.

Ia berpendapat, kondisi itu akan berbahaya bila status MUI tidak diperjelas dan perannya tidak dibatasi, terutama berkaitan dengan begitu mudahnya memfatwa sesat. Keberadaannya akan semakin melebar dan menyentuh wilayah aliran kebatinan yang jumlahnya sangat besar.

“Bisa-bisa melebar ke aliran kebatinan dan difatwa sesat juga. Padahal, jumlah aliran kebatinan di Indonesia ini ada 320, ada yang berkeyakinan tidak perlu salat 5 waktu, yang penting ingat kepada Allah SWT, dan sebagainya. Banyak sekali. Kalau itu juga jadi urusan MUI, maka MUI akan lebih sibuk dari pada presiden,” paparnya.

Dalam hal menilai sebuah paham menyimpang atau tidak, baginya ada batasan-batasan yang cukup tegas. “Bagi saya, batasannya adalah Rukun Islam, Rukun Iman serta hal-hal yang disepakati para ulama dan umat Islam dan tidak bisa diperdebatkan lagi. Kalau keluar dari itu, maka dianggap sesat atau menyimpang,” jelasnya.

Meski demikian, kata Kang Said, batasan-batasan itu tetap harus melewati pengkajian mendalam terlebih dahulu. “Jadi, tidak asal memfatwa sesat. Tidak asal memerintahkan; ‘tangkap’. Dikaji dulu secara mendalam,” pungkasnya. (rif)