Warta HALAQAH PRA MUKTAMAR

Keberadaan Organisasi Mahasiswa NU Kembali Dibincang

Selasa, 18 Agustus 2009 | 12:37 WIB

Jakarta, NU Online
Menjelang digelarnya muktamar ke-32 NU, keberadaan organisasi mahasiswa yang secara langsung berada dibawah struktur PBNU kembali dibincangkan dalam halaqah pra muktamar yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (18/8).

Terdapat dua pandangan besar diantara peserta halaqah, ada yang menginginkan dibentuknya organisasi mahasiswa baru, sedangkan pendapat kedua berkeinginan untuk memaksimalkan organisasi yang saat ini sudah ada, yaitu IPNU, PMII dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU).<>

Kelompok yang setuju pendirian organisasi mahasiswa baru berpendapat, organisasi ini penting untuk merawat dan mengembangkan jaringan mahasiswa dengan ideologi ahlusunnah wal jamaah yang saat ini menghadapi tantangan kelompok wahabi.

Keberadaan PMII dan IPNU dianggap kurang mampu mewadahi karena PMII sudah dinilai semakin jauh dari ajaran NU, sedangkan IPNU kurang diterima dikalangan mahasiswa karena diperuntukkan untuk segmen pelajar sekolah menengah, yaitu kalangan SMP-SMA atau Tsanawiyah dan Aliyah.

Sementara itu, kelompok yang tidak setuju berpendapat keberadaan PMII, IPNU dan KMNU sudah cukup mewakili kebutuhan mahasiswa yang berkultur NU. IPNU bisa mengembangkan jaringannya dikalangan mahasiswa dengan toleransi usia keanggotaan sampai 30 tahun, yang ini sudah mencerminkan usia mahasiswa.

Persoalannya memang para persepsi bahwa istilah “Pelajar” yang melekat pada IPNU hanya cocok untuk siswa sekolah menengah, padahal istilah itu bisa juga dipakai untuk semua jenjang tingkat pendidikan, seperti Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang ada di luar negeri, yang isinya meliputi mahasiswa sampai tingkat doktoral.

Dalam sebuah kasus yang terungkap di Jawa Tengah, seorang aktifis mahasiswa yang pulang kampung kembali masuk ke IPNU, karena ini satu-satunya organisasi yang ada untuk bergabung, meskipun semasa menjadi mahasiswa, ia masuk organisasi mahasiswa.

Perubahan pandangan PMII semakin jauh dari kultur NU juga ditentang oleh mantan ketua PMII Malik Haramain karena PMII saat ini memang sedang membangun segmen baru di kampus umum yang memiliki kultur berbeda dengan NU, tetapi mereka setuju dengan nilai-nilai ahlusunnah wal jamaah. “Tak benar PMII semakin jauh dari NU, semakin tua orangnya semakin NU, buktinya ada Pak Masdar, Ibu Khofifah dan lainnya, semuanya aktifis NU,” jelasnya.

Baginya, yang paling penting adalah biarlah ketiga organisasi mahasiswa berkultur NU ini bersaing di kampus, nanti pasarlah yang menentukan siapa yang paling banyak memberi manfaat bagi mahasiswa, itulah yang nanti akan berkembang.

Keberadaan KMNU sendiri merupakan upaya mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi umum untuk melawan organisasi mahasiswa Islam garis keras. Mereka memiliki segmen yang berbeda dengan PMII. Meskipun ada keinginan untuk menjadi badan otonom NU, tetapi keinginan ini tampaknya harus ditunggu karena keberadaannya masih belum meluas. Pengurus NU setempat diharapkan mampu memfasilitasi organisasi ini, meskipun secara struktural belum ada di AD/ART.

Para penentang juga berpendapat, organisasi baru berpotensi menimbulkan konflik karena perebutan sumberdaya finansial untuk membiayai kegiatan organisasi, toh selama ini kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa berkultur NU tak jauh beda.

Margareth, ketua umum IPPNU mengeluhkan, tidak jelasnya posisi IPPNU sebagai organisasi bagi pelajar sekolah menengah atau mencakup mahasiswa menyebabkan posisinya mengambang dan menjadi korban. Banyak mahasiswi yang tidak mau terlibat karena dianggap hanya cocok untuk pelajar sekolah menengah saja. (mkf)