Warta

KH. Ma'ruf Amin: Dinamisasi di Atas Rel

Jumat, 14 Juli 2006 | 02:45 WIB

Jakarta, NU Online
Butir terpenting dalam Fikrah Nahdliyah (pokok pikiran Nahdlatul Ulama/NU) adalah tasamuh atau toleransi. Perbedaan memang tidak mungkin terelakkan, dan dalam lingkup pemahaman terhadap Islam atau ajaran-ajarannya NU pun semenjak awal berdirinya telah menerima itu.

“Sepanjang perbedaan itu masih dalam wilayah perbedaan atau wilyatul ikhtilaf, tidak keluar dari kerangka berfikir Nabi atau para ulama kita menyebutnya manhajul fikr,” kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Ma’ruf Amin kepada NU Online di Jakarta, Kamis (13/7) malam, di sela-sela persiapan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang akan diadakan pada 27 Juli mendatang.

<>

Kerangka berfikir Nabi Muhammad SAW itu telah diterjemahkan secara cerdas oleh para ulama empat madzab fikih, Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali. Ada juga Al-Asy’ary dan al-Maturidi khusus dalam soal tauhid atau theologi. Dikatakan  Ma’ruf Amin, NU telah bersepakat mengambil manhajul fikr dari para pewaris Nabi tersebut.

“Kalau di luar itu kita tidak menerima. Misalnya, ada aliran Ahmadiyah. Keyakinan aliran ini tentang adanya Nabi atau kitab suci baru tidak ditemukan dalam manhajul fikr itu. Maka Ahmadiyah harus ruju’ ilal haq (kembali ke jalan yang telah digariskan Nabi), kalau tidak NU akan mengupayakan agar pemerintah melarangnya,” katanya.

Pada tahun 1995 ajaran Ahmadiyah telah masuk ke Indonesia. Waktu itu, para kiai NU telah meminta Departemen Agama untuk melarang pegembangan agama ini. “Yang membela Ahmadiyah mungkin mereka tidak tahu itu. Jadi ada perbedaan dan ada penyimpangan,” kata Ma’ruf Amin.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengaku heran dengan beberapa pihak yang mendukung aliran Ahmadiyah namun selalu bereaksi negatif terhadap aliran Wahabi.

“Padahal Wahabi itu masih dalam wilayah perbedaan. Seharusnya kita masih memakluminya. Saya tidak takut dikatakan Wahabi wong saya tidak punya bakat Wahabi sama sekali: jenggot saja saya tidak punya, jidat tidak hitam, celana saya juga tidak diangkat di atas mata kaki,” katanya.
 
Dengan sikap seperti itu, lanjut Ma’ruf Amin, bukan berarti NU telah berubah menjadi kaku dan fundamentalis, atau katakanlah bergeser ke kanan.

“Yang mengatakan begitu ya karena sebenarnya yang bersangkutan telah berubah menjadi liberal dan melupakan Fikrah Nahdliyah. NU ya pasti berubah, harus bergerak dan dinamis, tetapi tetap di atas relnya,” seru Ma'ruf Amin. (nam)