Warta PENGUNGSIAN GEREJA GANJURAN

Menolong Tanpa Memandang Agama

Jumat, 12 November 2010 | 12:25 WIB

Jakarta, NU Online
Pemanfaatan masjid, gereja, wihara, pura, klenteng sebagai tempat pengungsian para korban bencana alam semestinya dilihat sebagai keinginan para pengelolanya  untuk menolong  maupun berbuat kebaikan. Tujuan baik itu tidak sepatutnya dicurigai sebagai upaya mengubah keyakinan agama para pengungsi. Sebaliknya, sudah semestinya diapresiasi sebagai bentuk kepedulian umat<> beragama kepada para korban bencana. 

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Imam Azis kepada NU Online, di Jakarta, Jumat, 12 November 2010. Pendapat itu disampaikan menanggapi peristiwa pemindahan puluhan pengungsi korban bencana Merapi yang beragama Islam dari Gereja Ganjuran atas permintaan belasan orang yang mengenakan baju terusan panjang dan surban pada Senin, (8/11). Diduga tuntutan disampaikan karena khawatir para pengungsi muslim pindah agama.

Kedatangan belasan orang yang mengenakan baju terusan panjang dan surban ke Gereja Ganjuran itu pada akhirnya mengundang kehadiran dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, beserta Permaisrui GKR Hemas. Dalam pertemuan antara perwakilan pengungsi dan kelompok massa bersurban itu, selaku mediator, Sri Sultan meminta para pengungsi memahami situasi dan memilih untuk pindah dari Gereja Ganjuran. Para pengungsi
muslim akhirnya mengalah demi mengikuti keinginan kelompok massa  dan saran Sultan pindah ke Bangsal Rumah Dinas Bupati Bantul, pada Selasa (9/11).

Permintaan tersebut dinilai sejumlah kalangan berlebihan. Sebab, langkah Gereja Ganjuran membukakan pintu bagi puluhan pengungsi asal Cangkringan yang meminta tempat berteduh sementara akibat letusan dasyat Merapi pada  Jumat (5/11) sebagai wajar. Namun, sekelompok massa bersurban tersebut justru mendatangi  gereja, memaksa pengungsi pindah tempat.

“Dalam situasi darurat, seharusnya semua pihak tidak perlu mempersoalkan siapa yang menolong, atau siapa yang ditolong. Kewajiban orang pertamakali adalah menyelamatkan nyawa dan keamanan dari rasa takut ,” kata mantan Direktur Lembaga Penerbitan  LKIS Yogyakarta ini.

Langkah Gereja Ganjuran memberi tempat berteduh bagi pengungsi, tambah Imam Azis, sudah lumrah. "Itu kewajiban kemanusiaan, tidak pandang agama apapun, “ imbuh salah seorang Ketua PBNU ini. Sementara, bagi pengungsi, pemilihan Gereja Ganjuran sebagai tempat pengungsian, juga masuk akal, lantaran gereja yang terletak di  desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro berjarak relatif aman, sekitar 40 kilometer dari puncak Merapi.  

Reputasi Baik
Dengan pendapatnya itu, Imam Azis merasa aneh dengan langkah pemindahan paksa para pengungsi muslim dari gereja hanya karena curiga akan diubah agamanya. “Tidak semudah itu orang mengubah agamanya. Karena gereja, masjid, dan bangunan publik lain memang menjadi tujuan orang-orang yang sedang mencari perlindungan,” terang Imam Azis.

Menurut alumni IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, penilaiannya itu bukan asal. “Saya tahu Gereja Ganjuran sudah punya reputasi baik dalam penanganan tanggap darurat, dalam peristiwa Gempa Bumi 2006 di Yogyakarta. Saat itu tidak ada usaha pengalihan akidah. Mereka memiliki etika bersama, yakni kemanusiaan,” tandas Imam Azis. (abd)