Warta

MUI Jelaskan Fatwa Soal Pluralisme dan Ahmadiyah Kepada DPR

Rabu, 31 Agustus 2005 | 12:58 WIB

Jakarta, NU Online
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR di Jakarta, Rabu, menjelaskan dasar-dasar dikeluarkannya Fatwa MUI pada Munas MUI VII akhir Juli 2005 yang antara lain menyangkut persoalan pluralisme, liberalisme dan aliran Ahmadiyah.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi VIII DPR Hanif Ismail (F-PKB) tersebut, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa pluralisme dalam masalah kehidupan kebangsaan memang ada dan diperbolehkan.

<>

"Namun pluralisme dalam agama jelas tidak ada. Menyamakan semua agama jelas tidak benar," katanya yang antara lain didampingi Ketua MUI Umar Shihab dan Nazri Adhlani, serta Husein Umat yang juga Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Bahkan, katanya, Vatikan sendiri serta tokoh Katolik Romo Magnis Suseno juga telah menyatakan bahwa tidak mungkin semua agama itu sama.

Ma’ruf Amin mengakui saat ini memang ada upaya untuk menyamakan semua ajaran agama terutama dari para penganut dan pendukung aliran liberal.

Dia menegaskan bahwa ada sejumlah hal yang menyebabkan hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam di antaranya ajaran liberal itu tidak menggunakan tafsir dan kaidah-kaidah dalam Al Qur’an yang menjadi pedoman utama umat Islam.

Selain itu, faham liberal cenderung berpendapat bahwa ada ayat-ayat Al Qur’an yang tidak relevan sehingga bisa ditafsirkan lagi.

Bahkan, katanya, pimpinan Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan bahwa perempuan Islam boleh menikah dengan pria yang beragama non Islam.

"Pendapat seperti ini jelas bertentangan dengan Al Qur’an yang melarang pernikahan berbeda agama," katanya sambil menambahkan bahwa JIL merupakan aliran sesat dan diharamkan mengikuti ajarannya.

Oleh karena itulah MUI menentang pluralisme dalam agama serta berpendapat bahwa ajaran liberalisme tidak sesuai dengan ajaran Islam. "Kita akan mensosialisasikan fatwa-fatwa MUI yang menjadi perdebatan ini," kata Ma’ruf Amin.

Dalam kesempatan itu, MUI juga menjelaskan mengenai fatwanya yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya sebagai orang yang murtad (keluar dari Islam).

MUI berpendapat, perbedaan pendapat dalam beragama memang diperbolehkan dan ditolerir namun penyimpangan dalam beragama harus diamputasi (dipotong) agar tidak berkembang.

Aliran Ahmadiyah mengajarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yakni Mirza Ghulam Ahmad, sehingga dianggap telah keluar dari Islam.

MUI juga menyerukan kepada para pengikut aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Al Qur’an dan Hadist.(ant/mkf)