Nasional

Harlah Ke-69, Sarbumusi Soroti Dampak UU Cipta Kerja: Rugikan Pekerja, Berpihak ke Pengusaha

Kamis, 26 September 2024 | 14:30 WIB

Harlah Ke-69, Sarbumusi Soroti Dampak UU Cipta Kerja: Rugikan Pekerja, Berpihak ke Pengusaha

Sekjen DPP Konfederasi Sarbumusi Syefuddin Ahrom Al Ayyubi saat ditemui NU Online di Kantor DPP Sarbumusi, Jl Raden Saleh, Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) genap berusia 69 tahun, pada 27 September 2024. Selama hampir tujuh dekade, Sarbumusi terus berupaya memperjuangkan hak dan kesejahteraan buruh, salah satunya melakukan advokasi terhadap nasib pekerja.


Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Syaefuddin Ahrom Al Ayyubi menyoroti berbagai dampak yang dialami para buruh apalagi sejak munculnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Menurutnya, undang-undang ini merugikan pekerja dan cenderung berpihak terhadap kelompok pengusaha.


“Ada beberapa isu krusial yang sangat merugikan pekerja misalnya isu penghapusan upah minimum sektoral, pemangkasan haak cuti dan pesangon, kontrak kerja dan outsourcing, pelemahan positioning serikat pekerja/serikat buruh,” kata Syaefuddin kepada NU Online, Rabu (25/9/2024).


Syaefuddin menjelaskan, salah satu dampak dari adanya penerapan UU Cipta Kerja adalah terjadinya ketidakharmonisan antara serikat pekerja dan serikat buruh dengan pengusaha selama ini telah berjalan.


Ia mengatakan, banyak perselisihan yang timbul seperti macetnya bipartit yang membahas tentang perjanjian kerja bersama (PKB), peraturan perusahaan (PP), serta pemberian pesangon yang berubah dan kontak kerja pekerja ousorching.  


“Ini jelas sangat merugikan pekerja,” kata Syaefuddin.


Pekerja outsourcing rentan

Sarbumusi juga menyoroti masalah outsourcing yang membuat pekerja tidak memiliki kepastian kerja. Pekerja outsourcing menurut Syaefuddin, bekerja dengan kontrak jangka pendek dan tidak memiliki jaminan untuk tetap dipekerjakan setelah kontrak berakhir.


Situasi itu membuat pekerja lebih rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sulit untuk merencanakan masa depan jangka panjang.


“Pekerja outsourcing umumnya mendapatkan upah lebih rendah dan fasilitas yang tidak sebanding dengan pekerja tetap. Mereka sering kali menghadapi hambatan dalam peningkatan karier di perusahaan tempat mereka bekerja karena status mereka dianggap bukan sebagai pekerja tetap, dan peluang untuk dipromosikan atau mengembangkan keterampilan lebih terbatas,” ujarnya.


PHK dan UU Cipta Kerja

Meskipun UU Cipta Kerja bukan satu-satunya faktor yang memicu lonjakan buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tetapi menurut  Syaefuddin, ada keterkaitan antara implementasi UU Cipta Kerja dengan meningkatnya angka PHK.


Di sisi lain, faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global, pandemi Covid-19, dan perkembangan teknologi juga berperan dalam hal ini.


“Hal yang perlu dicatat terkait dengan isu PHK pada UU Cipta Kerja ini adalah adanya kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK,” ujar Syaefuddin.


Sarbumusi berharap pemerintah yang baru akan mengevaluasi kembali UU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan dan membahasnya kembali dengan melibatkan serikat pekerja atau serikat buruh.


“Mayoritas SP/SB berpendapat bahwa UU Cipta Kerja ini dibuat tanpa melibatkan partisipasi SP/SB sehingga banyak SP/SB yang menuntut UU ini dicabut. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap isu ketenagakerjaan Indonesia karena ini menyangkut hajat hidup jutaan buruh Indonesia,” jelasnya.


Syaefuddin menyebutkan, regulasi UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan Buruh Perempuan yang seharusnya mengatasi berbagai masalah buruh perempuan pun masih minim aksi.


Buruh perempuan di Indonesia masih menghadapi diskriminasi gender, kurangnya perlindungan kesehatan reproduksi, pelecehan di tempat kerja, dan minimnya kesempatan untuk promosi atau pengembangan keterampilan.


“Regulasi yang ada sudah mencoba mengatasi beberapa masalah ini, implementasinya di lapangan sering kali masih lemah,” ungkap Syaefuddin.


Menurutnya, dibutuhkan lebih banyak peraturan yang ramah terhadap buruh perempuan seperti fasilitas kerja yang ramah gender. Selain itu, diperlukan kampanye kesetaraan gender di tempat kerja, yaitu untuk mengatasi tantangan yang dihadapi buruh perempuan dan memperbaiki kesejahteraan serta kesempatan kerja mereka.