Warta

Paradigma Penulisan Sejarah NU Perlu Dirubah

Senin, 22 Agustus 2005 | 12:17 WIB

Jakarta, NU Online
Selama ini, sejarah tentang NU lebih banyak ditulis oleh para peneliti dari kalangan non NU, para orientalis dan pengikutnya. Dalam pandangan mereka, NU dicitrakan sebagai organisasi yang bersifat Jawa yang oportunis, koservatif serta agraris yang tidak rasional. Keadaan ini perlu dirubah dengan melakukan perubahan paradigma penulisan sejarah NU yang dilakukan kalangan sendiri yang bisa mencitrakan NU sesuai dengan apa adanya dengan data serta argumen yang memadai.

Lembaga Ta’lief Wan Nasr (LTN NU) atau Lembaga Penelitian dan Pengembangan Informasi NU mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh timnya di daerah Minang, Sunda dan Sasak di Gd. PBNU (22/8). Penelitian merupakan upaya untuk melihat sejarah NU dari sudut pandang orang NU sendiri. Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut Enceng Sobirin, Abdul Aziz Ahmad, Mun’im Dz, dan Adnan Anwar

<>

“Walaupun dianggap tradisional, tetapi NU punya daya tahan sehingga bisa terus berkembang, ketika organisasi serupa sudah berguguran. Kekuatan itu tidak pernah diteliti, hanya kelemahan saja yang dicari,” tandas Ketua LTN NU Mun’im Dz (22/8).

Penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung ke daerah-daerah tersebut lebih memfokuskan pada dinamika internal, yaitu bagaimana para tokoh NU mencitrakan dirinya serta memaknai tindakannya serta menjelaskan argumennya sesuai dengan rasionalitas kaum nahdliyyin.

“Dengan pendekatan tersebut berbagai data bisa ditemukan, berbagai informasi didapatkan, beberapa pengalaman para tokoh dan saksi bisa diungkapkan dan dijadikan sumber utama penulisan,” tambahnya.

Dengan adanya sumber alternatif ini, buku babon tentang NU yang sudah dianggap klasik hanya dijadikan sumber sampingan, bahkan tidak sedikit yang terpaksa dibuang, diganti dengan sumber yang lebih orisinil dan lebih valid. Dengan cara demikian, citra NU bisa ditampakkan dan NU luar Jawa yang selama ini diabaikan juga bisa diperlihatkan eksistensi dan pengaruhnya terhadap NU Indonesia.

Budaya NU memiliki keragaman yang luas sesuai dengan lokalitasnya masing-masing. Dimanapun, baik di Jawa maupun luar Jawa, NU memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan diri dengan budaya lokal.

Di Sumatra Barat, NU berinteraksi erat dengan Perti, sementara di Sumatra Utara memiliki kesamaan cultural dengan jam’iyah Al Washiliyah. Di Sunda NU beraliansi dengan Mathla’ul Anwar sedangkan di NTB dengan Nahdlatul Wathon. Demikian juga, di Sulawesi bahu-membahu dengan Al-Khairat.

Mun’im yang juga peneliti di LP3Es tersebut menjelaskan selama berada di tiga daerah tersebut, para pimpinan NU lokal memberi sambutan yang luar biasa dengan memberikan data dan waktunya. Selama ini mereka sendiri kurang faham tentang sejarah NU di lingkungannya, bahkan banyak diantara tokohnya yang malah menulis sejarah tokoh dari ormas lainnya.

Hasil penelitian ini akan terus disempurnakan, baik dengan melakukan penelitian lebih lanjut atau mengundang para ahli untuk berdiskusi. Jika sudah dianggap memadai, penelitian ini akan diterbitkan dalam bentuk buku.(mkf)