Warta

Pengamat: Tausiyah Politik Kiai NU Pudar

Jumat, 10 Juli 2009 | 09:10 WIB

Surabaya, NU Online
Tausiyah politik kiai Nahdlatul Ulama (NU), khususnya di Jawa Timur, memudar, karena kemampuan berpolitik para kiai diragukan kalangan nahdliyin di tingkat basis. Dari masa ke masa tausiyah yang berurusan dengan politik khususnya pencalonan capres/cawapres selama dua periode ini selalu gagal total.

"Bukti yang sudah jelas adalah pada pilpres 2004 yang lalu. Yang saat itu Hasyim Muzadi yang masih menjabat sebagai Ketua PBNU menjadi cawapres dengan Megawati. Dukungan para kiai di mana-mana, tetapi gagal total," kata Suko Waluyo, Pengamat Politik dan pakar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (10/7), dikutip dari Republika Online.<>

Dijelaskan Suko, degradasi ini terus berlangsung dan cenderung meningkat. Klimaksnya, banyaknya kiai yang berkiprah dalam politik praktis juga gagal memperjuangkan mereka. Sedangkan pada tingkat basis (nahdliyin) sudah lebih banyak berkomunikasi dengan para pelaku politik praktis yang lebih piawai dalam urusanya ketimbang sekedar tausiyah kiai.

"Otoritas kiai lebih masih dipahami umat (nahdliyin) sebagai pemuka agama yang terpisah dengan politik, sehingga tausiyah politiknya dikesampingkan," urai Suko.

Pernyataanya itu, lanjut Suko, dikuatkan pada pilpres yang baru berlangsung ini meski siapa yang terpilih menjadi presiden belum diumumkan secara resmi oleh KPU. Tetapi, kata dia, dari sejumlah lembaga survei mendapatkan angka bahwa kemenangan sudah di depan pasangan capres/cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang sudah mendapatkan suara sebanyak 63 persen melalui hitung cepat (quick count). Sedangkan Mega-Prabowo 27 persen dan JK-Wiranto paling terpuruk yakni hanya 12 persen.

"SBY tidak banyak didukung para kyai dari NU meski berkoalisi dengan ‘partai-partai hijau’ (berbasis agama). Sebaliknya, pasangan JK-Wiranto yang aktif dan mendapat dukungan kiai justru suaranya jeblok. Bahkan, di Jatim, suara JK kalah dengan pasangan Mega-Prabowo," jelasnya.

Kegagalan ini tandas pria yang kerap menjadi tamu acara komedian politik di sejumlah stasiun televisi ini, kegagalan kiai mengajak nahdliyin untuk mendukung salah satu capres karena hanya berdasarkan keturunan. Tetapi program ekonomi maupun yang bersentuhan dengan urusan keagamaan yang akan menentukan nasib kalangan basis terabaikan. Padahal, ketenaran SBY dengan capres lain sulit dibendung.

"SBY lebih melegenda daripada Partai Demokrat sekalipun. Masyarakat melihat sosok SBY sebagai figur yang santun yang tidak agresif yang tentunya sangat disukai oleh kalangan ibu-ibu maupun nahdliyin yang enggan berurusan dengan politik praktis," tutur pria berkumis tebal ini.

Tetapi imbuh Suko, memudarnya tausyiah kiai ini tidak mendegradasi urusan religiusitas kiai kepada nahdliyin. Sebab, urusan politik dan agama mampu dibedakan dengan baik oleh umat Islam, utamanya kaum nahdliyin. Lantaran berkali-kali pula mereka merasakan kegagalan para kiai yang terjun di politik. (rif)