Warta

Pluralitas Dalam Beragama Bukan Membuat Terkotak-kotak

Kamis, 1 September 2005 | 08:48 WIB

Solo, NU Online
Pluralisme bukan berarti beragama lebih dari satu, apalagi banyak, tetapi seseorang dapat beragama sesuai dengan keyakinan dan keimanan yang seimbang dengan toleransi kepercayaan yang cukup. Toleransi keyakinan yang cukup itu sendiri bukan berarti menonjolkan sesuatu yang bersifat terkotak-kotak seperti suku, agama, ras dan atau antargolongan (SARA), namun sebaliknya saling hormat-menghormati dan bertenggang rasa yang tinggi dalam suatu harmonisasi.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Drs A Hasyim Muzadi mengemukakan hal itu saat tampil dalam Dialog Budaya bertema, "Revitalisasi Nasionalisme di Era Globalisasi" yang digelar Yayasan Bangun Watak Bangsa di Hotel Sahid Raya, Solo, Jawa Tengah (Jateng), Selasa (30/8). Tampil dalam dialog tersebut pembicara lain seperti, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Romo Mudji Sutrisno SJ dan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Prof Sardono W Kusumo.

<>

Lebih lanjut diungkapkan, pluralitas beragama itu sendiri baru dapat dibentuk jika ada sistem pendidikan agama dan pendidikan kebangsaan (nasional) yang mapan, sehingga warga negara dapat beragama dan ber-Indonesia dengan baik dan benar. Oleh karena itu, posisi adat dan agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik pada posisi teritorial, hukum, ekonomi, politik, sosial budaya semakin berkedaulatan.

Dia mencontohkan, agama sebagai pegangan hidup maka agama harus diletakkan pada social society sedangkan hubungan hukum agama dengan hukum positif negara (national state) bersifat inklusif substansial, bukan bersifat eksklusif formal. Karenanya, serapan negara terhadap agama adalah pada nilai-nilai dan moral secara substansial dan pengemasan kebangsaannya dikemas dalam hukum positif negara yang melindungi nilai-nilai agama.

"Dengan demikian nilai-nilai agama tidak merasa dirugikan dalam hukum positif negara tetapi justru terpayungi dan terlindungi. Artinya, hukum positif negara melindungi dan memayungi nilai-nilai agama," ujar Kyai Hasyim panggilan KH Drs A Hasyim Muzadi.

Pada bagian disebutkan, sesungguhnya lintas agama perbedaannya ada pada theologi, ritual dan strategi pengembangan masyarakat. Dalam strategi pengembangan masyarakat yang berbeda tersebut dapat dengan mudah dilihat seperti; Islam melalui zakat fitrah misalnya, agama Kristen dan Hindu-Budha melalui cinta kasih, dan demikian seterusnya. Sehingga sampai kapanpun antara agama yang satu dengan agama lainnya selalu ada kesamaan dan ada pula perbedaan.

"Kesamaan dalam beragama ada pada nilai-nilai, moral dan humanitas, sedangkan perbedaannya ada pada theologi, ritual dan strategi pengembangan masyarakat. Oleh sebab itu, yang berbeda jangan disamakan, namun demikian juga sebaliknya, yang sama jangan dibedakan serta semuanya terlindungi dalam hukum positif negara," tegas Kiai Hasyim.

Terkait dengan ideologi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, adalah sesuatu yang final yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi dipertentangkan. Sebab ideologi Pancasila, batang tubuh UUD 1945 dan NKRI merupakan rakitan ideologi, struktur dan tata hukum yang bermuara pada NKRI sebagai kedaulatan.

Persoalan yang kemudian muncul sekarang ini, diakui atau tidak sangat terkait erat dengan adanya amandemen (hingga keempat kali) atas UUD 1945 belum lama ini.
Pertanyaannya sekarang, apakah amandemen itu bagian dari perubahan, ataukah bagian dari pergeseran ataukah merupakan pengembangan? "Perlu ada kajian lagi untuk menjawabnya," kata Kiai Hasyim. (sh/Die)