Warta

Sarbumusi Desak Pemerintah Soal Kejelasan Kontrak Bagi TKI

Jumat, 27 Januari 2012 | 09:49 WIB

Jakarta, NU Online
“Saya pun bagian yang tidak setuju selama tidak ada MoU dengan negara. Jangan mengirim buruh migran, karena tak ada jaminan hukum. Dari mana ia dapat jaminan hukum?”

Demikian ditegaskan Ketua Umum DPP Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Syaiful Bahri Ansori, terkait nasib TKI di luar negeri beberapa waktu lalu.
Dia menyatakan Indonesia harus membuat kesepakatan dengan negara lain. Ini menjadi penting sebagai bentuk kontrak kerja yang pasti dalam menjamin hak buruh.

<>“Karena itu saya berharap dari pemerintah agar berhati-hati. Sekarang negara-negara yang bermasalah ini mengadakan moratorium. Untuk menghidupkan moratorium itu, harus ada MoU. Tanpa itu, akan menjadi masalah yang tidak manusiawi,” terangnya.

Syaiful melanjutkan bahwa para TKI berjasa besar kepada negara. Pemasukan yang diterima negara dari buruh migran ini sangat besar. Karenanya, negara harus mengambil langkah positif dalam menjamin hak mereka agar mendapatkan haknya sebagai buruh. Mereka mesti diperlakukan secara hormat sebagai anak bangsa yang memiliki peran dalam proses pembangunan yang tengah berjalan. “Buruh migran itu kan orang yang menghasilkan devisa.”

Isu TKI ini memang bukan hal sederhana. Namun, kerumitan dan kendala semacamnya bukan berarti tak bisa dicarikan solusinya. Banyak pihak terlibat di dalamnya, mulai dari Depnakertran, Dephub, Deplu, Kepolisian, juga serikat buruh. Kalau saja semuanya duduk bersama merumuskan langkah operasional, koordinasi berikut evaluasi kinerja satu sama lain, tak ayal buruh TKI tentu terlindungi secara hukum dan meningkat kesejahteraannya.

“Artinya dalam melihat buruh migran ini, mesti melacak dari hulu sampai hilir, mulai dari bagaimana perekrutan, bagaimana pelatihan, dan penempatan,” ujarnya.

Pembenahan tahap demi tahap harus dikawal. Pihak-pihak yang terlibat selama ini kurang tertib dalam menyiapkan buruh TKI. Dari segi usia, banyak anak di bawah umur yang lolos dalam perekrutan. Bekal pelatihan yang mestinya diikuti peserta minimal 200 jam, diabaikan. Karenanya, perlu ada semacam audit dan evaluasi pada tahapan-tahapan persiapan mereka.

Hari libur, jam kerja, faktor usia, penetapan upah, dan kejelasan penempatan majikan, harus menjadi perhatian penuh.

Penulis: Alhafiz Kurniawan