Cukup banyak literatur pustaka yang telah mengkaji sejarah masuknya Islam di Indonesia dan perkembangannya hingga saat ini. Namun, akan ditulis pula sejarah tersebut dalam versi lain, yakni versi Nahdlatul Ulama (NU).
Demikian diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi saat menjadi pembicara utama pada bedah buku “Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU” karya KH Tolhah Hasan, di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Selasa (28/8)<>
Menurut Hasyim, penulisan sejarah versi NU itu penting untuk memberikan pengetahuan baru lain tentang awal-mula masuknya Islam di Nusantara. Hal penting lainnya adalah bagaimana Islam masuk dan beradaptasi dengan kebudayaan dan masyarakat setempat yang kemudian turut membantu melahirkan Islam bercorak lokal.
Pengetahuan baru tentang sejarah Islam Nusantara itu, katanya, juga penting untuk menghadang laju gerakan kelompok Islam garis keras yang belakangan dinilai mulai mengusik keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila.
Gerakan tersebut, ujarnya, kebanyakan berasal dari luar negeri yang tak memiliki kaitan dan tidak memahami sejarah Indonesia. Sehingga, semangat serta visi-misi perjuangannya pun kerap kali tak sejalan dengan banyak kelompok, utamanya kelompok Islam lokal.
“Islam yang bersifat lokal seperti NU dan Muhammadiyah yang lahir dan berkembang di tengah kondisi budaya setempat dan berkaitan dengan sejarah. Nah, gerakan mereka yang dari Timur Tengah itu tidak tahu yang seperti ini, mereka tercerabut dengan akar sejarahnya,” urai Hasyim yang juga Presiden World Conference on Religions for Peace.
Selain KH Tolhah Hasan dan KH Hasyim Muzadi, hadir pula sebagai pembanding pada bedah buku yang dirangkai dengan Pengukuhan dan Konsolidasi Pengurus Pusat Lembaga Dakwah NU itu, dua ketua PBNU KH Said Aqil Siraj dan Masdar Farid Mas’udi.
Masdar mengingatkan sejumlah hal pokok yang menjadi dasar berdirinya NU sebagai sebuah organisasi pada 1926, yakni untuk memperjuangkan kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, budaya dan politik. Hal-hal yang bersifat amaliah ibadah merupakan faktor lain yang mengikuti kemudian meski telah menjadi tradisi dan budaya sekian lama.
“Secara kultural, NU, dalam pengertian tradisi tahlilal, ziarah kubur dan sebagainya, sudah berkembang jauh sebelum 1926. Pada 1926 itu berdirilah NU sebagai organisasi yang, organisasi yang diharapkan dapat menjadi alat untuk rekayasa sosial,” urai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat itu.
Karena itu, katanya, kebangkitan NU akan menjadi kebangkitan bangsa Indonesia pula. “Dan kebangkitan NU dan bangsa Indonesia adalah kebangkitan ekonomi, politik, sosial dan budaya,” tandasnya. (rif)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
6
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
Terkini
Lihat Semua