Warta Pasca MoU Helsinki

Sistem Perekonomian NAD Secara De Facto Terpisah dari NKRI

Senin, 22 Agustus 2005 | 01:54 WIB

Jakarta, NU Online
Sistem perekonomian Nagroe Aceh Darussalam (NAD) secara De Facto telah terpisah dari peraturan perundang-undangan NKRI. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia menyetujui pemerintah daerah (Pemda) untuk mengelola kebijakan moneter dan fiskal sendiri.

"Dari penandatanganan kesepakatan damai antara pemerintah dengan gerakan Aceh merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, terutama dalam kesepakatan ekonomi, terlihat bahwa secara de facto Aceh telah mempunyai kebijakan ekonomi tersendiri atau terpisah dari pemerintah pusat," kata pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada, Sri Adiningsih usai semina tentang membedah nota keuangan dari RAPBN 2006 di Jakarta, Kamis (18/8).

<>

Dalam kesepakatan dengan GAM tersebut, pemerintah memberika keleluasaan kepada pemda NAD untuk menentukan sendiri tingkat suku bunga, perpanjangan daerah serta pembagian sumber (SDA) yang besar.

Sri menjelaskan, meski NAD tetap akan menggunakan rupiah dalam transaksi perdagangan dan ekonominya, tetapi dalam kewenangan menentukan suku bunga tersendiri, maka ditengarai akan muncul bank sentral yang bisa mengendalikan peredaran uang dan kebijakan moneter di NAD. "Ini harus diwaspadai pemerintah, karena kemungkinan besar NAD mempunyai bank Sentral yang bisa mengendalikan peredaran uang, termasuk perkreditan, dan peraturan perbankannya," ujarnya.

Selain itu, lanjut Adiningsih, kewenangan peraturan perpajakan daerah  di NAD juga harus diperjelas pemerintah. Hal ini mengingat pemda NAD diberikan kewenangan untuk membuat peraturan perpajakan sendiri, terutama terkait dengan cara pemungutan yang terpisah dari kebijakan peraturan perpajakan pemerintah pusat.

Hal ini berarti pemerintah pusat tidak mempunyai fungsi dalam arti tidak bisa lagi intervensi dalam hal perpajakan. Padahal setiap daerah dikenal adanya retribusi daerah yang sesuai dengan pemerintah pusat.

Sementara itu sumber di BI Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin mengatakan, hingga saat ini bank sentral belum mengambil sikap, karena masih mempelajari apa yang dimaksud dengan perbedaan suku bunga dalam MoU tersebut. Ditandaskan, BI sama sekali tidak dilibatkan dalam penyusunan draf kesepakatan damai RI - GAM, khususnya yang menyangkut kewenangan BI dalam menetapkan kebijakan moneter.

Menanggapi isi MoU RI - GAM, ekonom yang juga anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo menilai, kesepakatan damai itu mengancam kedaulatan ekonomi RI di Aceh. Sekalipun upaya perdamaian sangat didukung, konsesi pemerintah RI kepada Aceh terlalu besar.

''Memberikan kebebasan pada Aceh untuk menentukan suku bunga merupakan kekeliruan fatal. Kalau satu wilayah bisa menentukan suku bunga, apakah ini artinya Aceh punya bank sentral sendiri? Ketika akan menentukan bunga yang berbeda dengan BI, diperlukan sebuah bank. Apakah ada bank Aceh yang bisa berfungsi seperti bank sentral? Saya jadi bertanya-tanya kedaulatan moneter masih di tangan Indonesia atau tidak?'' ujar Dradjad, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, jika memang Aceh diberi kebebasan menentukan suku bunga, mata uang rupiah akan mempunyai dua nilai. Sebab walaupun sama-sama rupiah, realitasnya tidak sama dengan nilai rupiah yang diperdagangkan di wilayah lain di luar Aceh.

Dia juga khawatir, konsesi untuk Aceh di bidang perdagangan akan menyebabkan keluar masuk barang sangat bebas. Aceh dapat saja membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan Singapura. Tindakan itu dikhawatirkan akan mematikan rezim cukai dan bea masuk.

''Saya rasa konsesi-konsesi di bidang ekonomi agak sedikit berbahaya dari sisi moneter dan perdagangan. Dari sisi bagi hasil, mereka sangat besar. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kita tidak punya kedaulatan perpajakan di Aceh. Saya sebagai ekonom sangat prihatin dengan konsesi-konsesi yang diberikan,'' ujarnya.

Dradjad menyesalkan sikap pemerintah yang terlalu berani memberikan konsesi-konsesi besar untuk perdamaian Aceh. Apalagi sebelumnya pemerintah tidak berkonsultasi dulu dengan DPR, termasuk juga dengan BI selaku bank sentral.

Hal senada dikemukakan Wakil Ketua Panitia Anggaran Hafiz Zawawi mengatakan, suku bunga yang saat ini ditetapkan BI harus berlaku di seluruh provinsi.

Terkait dengan pinjaman yang dapat dilakukan Aceh, Hafiz menjelaskan, tidak bisa begitu saja diputuskan pemerintah daerah karena seluruh pinjaman harus dibicarakan dengan DPR. Hal itu dilakukan mengingat mekanisme pinjaman tersebut telah diatur dalam UU. ''Prosedur peraturan undang-undang tidak bisa dilangkahi begitu saja. Butir-butir lainnya juga harus dilihat apakah sesuai dengan undang-undang. Kalau tidak sesuai, berarti perlu mengubah undang-undang yang ada,'' ujarnya.

Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pemba