Warta QURAISH SHIHAB:

Tindakan Anarkis Tidak Bisa Ditoleransi

Rabu, 23 Februari 2011 | 12:03 WIB

Jakarta, NU Online
Para ulama dan akademisi menolak kekerasan dan tindakan anarkis apapun bentuknya dan atas nama agama atau pun bukan agama. Anarkisme itu tidak dapat ditoleransi. Karena itu hendaknya perbedaan di antara masyarakat dapat ditoleransi, baik dari segi keyakinan, suku, budaya, pandangan politik dan sebagainya.

"Kekerasan apapun bentuknya dan atas nama agama ataupun bukan agama, semuanya tidak dapat ditoleransi. Untuk itu hendaknya perbedaan yang ada di tengah masyarakat dapat dimaklumi dan ditoleransi baik dari segi keyakinan, suku, budaya, pandangan politik dan sebagainya," kata mantan Menteri Agama Menteri Agama Prof Dr Quraish Shihab di kampus UIN Syahid Ciputat Jakarta, Rabu (<>23/2).

Dengan demikian Quraish Shihab mengimbau pada umat dan tokoh agama untuk mengkampanyekan kedamaian dan toleransi di dalam hubungan bermasyarakat. Selain itu, para akademisi dan ulama meminta pada penegak hukum untuk menindak tegas pelaku kekerasan apapun dasar kekerasan itu.

“Tidak hanya soal penindakan terhadap pelaku, tapi kami juga minta pemerintah agar segera menyelesaikan akar masalah kekerasan itu sesuai dengan peraturan dan perundangan," tutur guru besar UIN Syahid ini.

Sebelumnya Presiden agama-agama sedunia (ICIS) KH Hasyim Muzadi menegaskan jika dalam tindakan anarkis itu yang diperlukan adalah penegakan hukum bagi pelakunya, bukan dengan membubarkan ormas. "Kalau dibubarkan dan selanjutnya ganti nama itukan percuma," ujar mantan Ketua Umum PBNU itu.

Menurut Hasyim, kasus kekerasan yang berkedok agama yang murni disebabkan oleh faktor agama adalah hanya 30 persen, selebihnya yang 70 persen disebabkan oleh ekonomi, politik, dan lain-lain. "Saya tahu karena telah mendamaikan kasus kekerasan terhadap agama di berbagai negara dalam konteks selaku presiden agama-agama sedunia," tutur Hasyim.

Ia mencontohkan kasus di Irak oleh banyak orang disebut penjajahan Kristen terhadap Islam apalagi George W Bush menyatakan itu sebagai perang suci, padahal persoalan sebenarnya adalah keinginan Amerika menguasai minyak di negara itu. Begitu juga dengan kekerasan di Sudan Selatan. Ketika di negara miskin itu tiba-tiba ditemukan cadangan minyak yang sangat besar, berbagai perusahaan asing masuk ke sana.

Persoalannya mereka perlu tempat yang luas untuk menjalankan bisnis dan cara yang digunakan adalah dengan membenturkan agama Islam dengan kelompok kristen. "Cara itu mudah dilakukan dengan biaya yang murah. Maka terjadilah eksodus umat Islam Sudan dalam jumlah hingga 3 juta orang dari negerinya sendiri. Setelah itu, warga yang tinggal menuntut agar daerah mereka menjadi negara baru," tambah Hasyim. (amf)