Wawancara

Jumlah Santri Banyak, Tapi Peran Harus Diuji, Ayo Bangkit!

Senin, 8 Agustus 2016 | 13:05 WIB

Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta Mastuki HS menulis buku berjudul “Kebangkitan Santri Cendekia; Jejak Historis, Basis Sosial dan Persebarannya”. Buku yang diterbitkan Pustaka Compass tersebut diluncurkan di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta pada Sabtu (6/8).

Berebapa cendekiawan dari kalangan santri hadir pada kesempatan tersebut untuk mengomentarinya. Di antara yang mengomentari adalah Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Abdul Mun’im DZ, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad, mantan Ketua Lsebummi PBNU Sastro Al-Ngatawi, dan lain-lain.

Pada kesempatan tersebut, Mastuki menjelaskan buku tersebut membahas perkembangan para kelas menengah santri pada Orde Baru hingga Reformasi, di mana banyak terjadi dinamika dan periode krusial terkait hubungan Islam dengan negara Indonesia.

Pada Orde Baru, depolitisasi Islam menyebabkan anak-anak santri terbatas ruang geraknya, tapi manfaatnya bahwa ketika politik tersebut tertutup bagi mereka, mereka bergerak di lini-lini lainnya, mereka sekolah, masuk LSM, dan seterusnya, jadi ini manfaatnya. Tapi kecenderungannya pada saat ini ada fenomena yang lain juga.

Untuk mendapatkan keterangan bagaiman santri, kuantitas, kebangkitan dan perannya, Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai Mastuki selepas peluncuran buku tersebut. Berikut petikannya:  

Bagi Anda pengertian santri itu bagaimana?

Santri itu majemuk, banyak variannya. Biasanya santri spesifik khas NU. Tapi kita juga tidak fair bahwa di luar NU dikatakan tidak santri. KH Ahamad Dahlan, Kiai Hadikusumo, Raden Kafrawi mereka memiliki keislaman yang kuat. Dan faktanya mereka pernah nyantri. Kalau generasi berikutnya kebetulan secara organisasional tidak di NU, kemudian diklaim tidak menjadi bagian dari santri, itu tidak fair. Karena itu saya memperluas varian santri. Untuk memudahkan saja dibagi menjadi santri tradisionalis, santri modernis. Dan itu pun bukan untuk membelah, tapi varian saja.

Istilah santri itu bagi saya, bukan hanya lulusan pesantren. Santri diidentifikasi basisnya pada pesantren dan atau NU; iya itu, sudah jelas makna santri yang secara khusus. Tapi secara generik, santri seperti halnya tahlil. Tahlil itu kan sudah bukan lagi identitas NU. Tapi kalau melekat di NU itu iya. Kalau asalnya iya. Tapi dalam perkembangan, menjadi milik bersama. Perdebatan Hari Santri Nasional kan begitu. Kenapa Hari Santri Nasional tidak didukung oleh semua komunitas santri karena mereka mengklaim bahwa mereka juga santri. Bukan santri secara khusus. Saya memaknai santri dalam pengertian itu. Ketika Hari Santri debat, memasukan varian pemaknaan santri yang majemuk, jamak, bukan tunggal.

Terus kalau begitu, tipologi yang dimaksud santri itu bagaimana?

Santri dalam pandangan saya, kalangan muslim yang memperjuangkan nilai-nilai Islam. Sekarang santri itu sudah meluas begitu. Ini saya kira konsekuensi dari sebuah konsep terbuka. Bahwa kemudian santri diklaim untuk anak-anak yang nyantri di situ, itu asal-muasalnya. Kita tidak bisa menapikan.

Tujuan dari membuka pengertian luas dari santri itu apa?

Ya, untuk kepentingan perjuangan Islam Indonesia.

Yang dimaksud dengan kebangkitan ini dan faktor-faktor perjuangan?

Pertama, yang dimaksud kebangkitan itu, ada sejumlah banyak santri yang tadi itu, secara kuantitas. Terjadi ledakan.  Panen sarjana ya pada tahun 80-an. Kemudan panen pascasarjana tahun 90-an. Dan tahun 2000 itu sudah panen doktor. Ini spesifik dari pesantren. Apalagi ditambah dari dengan varian lain santri itu. Untuk kepentingan dan satrategi Islam, maka dengan menggunakan istilah maisntream santri akan menjadikan Indonesia itu identik dengan Islam, yang sekarang disebut dengan Islam Indonesia, Islam Nusantara. Kalau santri jadi dimainstreaming, Indonesia menjadi peradaban santri. Nah, sekarang HSN, Hari Santri Nasional itu maistreaming istilah santri itu. Enggak apa-apa menjadi milik banyak orang.

Faktor kebangkitan santri itu apa?

Itu kelas menengah ya. Kelas menengah itu unik. Pada tahun 80-an ini, untuk kalangan santri kapitalnya, modalnya, bukan modal ekonomi. Tapi modal intelektual. Karena anak-anak ini dari kelas bawah. Dan itu tidak terjadi di Amerika. Di Amerika itu, kebangkitan kelas menengah identik dengan life style, kekayaan, tapi di Indonesia lain. Ariel Herianto yang membuat kategori baru itu bersama Aswab Machasin yang mengidentifikasi kelas-kelas itu. Ini kok tiba-tiba ada di sini; itu karena kapitalnya itu intelektual, kemudian kapital ekonomi dan sosial diperoleh.

Santri dikatakan bangkit, kuantitasnya banyak. Pertanyaannya bagaimana perannya saat ini dan masa depan di Indonesia?

Sulit diprediksi karena tadi itu, yang majemuk itu tadi. Sejak awal, strugle, pergumulan santri itu terbelah dan tak pernah menyatu. Itu karena khas kelas menengah. Selalu strugling dan tak pernah menyatu meskipun santri itu asalnya dari pesantren, itu tak pernah tunggal mempersepsi persolan. Contoh kasus khilafah, terbelah kan, tentang isu-isu kepemimpinan nasional juga misalnya. Pasti terbelah karena kepentingnnya berbeda, caranya pasti berbeda. Jadi kalau optimisme akan semakin besar, tapi optimisme peran, itu harus diuji.

Terus bagaimana perannya sekarang?

Contoh misalnya akibat dari Reformasi, itu tertumpah pada politik dan itu tidak produktif. Dulu sumber-sumber ekonomi yang sudah diambil, LSM, sumber-sumber lainnya yang sudah diambil, sekarang dianggap nomor sekian. Semua cenderung ke politik. Itu bahaya. Untuk membuka spektrum santri yang luas itu, dari berbagai lini itu harus diperbesar. Coba anak muda NU sekarang lebih nyaman dari PMII, Ansor, kemudian partai politik, semunya. Sedikit di LSM, sedikit di ekonomi. Padahal itu yang dipentingkan sekarang.

Jadi, yang dimaksud bangkit dalam buku tersebut bagaimana?

Bangkit di sini biar ada gairah, bangkit ini statement awal, bukan tujuan. Kebangkitan itu ayo kita bangkit. Pada sejarah kita juga kan kebangkitan nasional pada tahun 1908, baru pada tahun 1945 kita merdeka.