Wawancara

Cengkraman Radikalisme di Kampus Perguruan Tinggi

Jumat, 15 Juni 2018 | 03:00 WIB

Cengkraman Radikalisme di Kampus Perguruan Tinggi

KH Mohammad Mukri, Ketua PWNU Lampung

Berkembangnya radikalisme di Indonesia saat ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi semua elemen bangsa. Upaya deradikalisasi sudah dilakukan oleh pemerintah dengan menggandeng stake holders terkait. Harapannya, pemahaman, sikap, dan aksi radikalisme dapat diberantas sampai ke akar-akarnya. Namun seakan-akan "patah tumbuh hilang berganti". Kelompok-kelompok radikal terus berupaya menebarkan virus radikalismenya melalui segala lini, mencengkram dengan jaringan yang terstruktur sehingga berbagai lini sudah mampu dikuasai.

Salah satu jaringan yang sudah menjadi lahan subur tumbuhnya paham radikal adalah lembaga pendidikan baik sekolah maupun kampus perguruan tinggi. Kondisi ini ini tentu sangat memprihatinkan karena bagaimana pun para pelajar dan mahasiswa adalah kader yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di negeri ini dan kepada merekalah eksistensi negara Indonesia harus dilanjutkan dan dipertahankan.

Terkait permasalahan ini dan bagaimana langkah NU menghadapi kondisi yang jika didiamkan mampu merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnalis NU Online Muhammad Faizin melakukan wawancara dengan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang juga Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung KH Mohammad Mukri di kediamannya di daerah Sukarame Bandarlampung, Rabu (13/6) malam. Berikut hasil wawancara dengan Professor Ilmu Ushul Fiqh ini.

Apakah paham radikalisme memang berkembang di kampus perguruan tinggi, Prof? Elemen apa yang terpapar?

Iya, paham radikalisme memang tumbuh di kampus-kampus dan memang ada. Utamanya tumbuh subur di kampus- kampus perguruan tinggi umum. Kenapa? Karena yang mengajarkan agama di perguruan tinggi negeri umum itu adalah orang atau dosen yang tidak didesain menjadi dosen agama. Ada kecenderungan orang yang senang dengan agama tapi tidak dididik secara sistematis untuk tahu agama dari madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah sampai dengan perguruan tinggi agama. Mereka malah berasal dari pendidikan umum SD, SMP, SMA yang kurang bersentuhan dengan pendidikan ilmu agama kemudian di perguruan tinggi bergabung dengan halaqah-halaqah (perkumpulan) dengan belajar agama sendiri.

Mereka tidak paham bahwa ilmu agama itu punya sanad, metodologi dan manhaj tertentu. Sehingga yang seperti ini sangat berbahaya apalagi disusupi paham radikal yang menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits melalui cara yang bertentangan dengan kaidah dan nilai-nilai dasar yang disepakati. Pemahaman seperti inilah yang ditanamkan kelompok radikal sehingga menganggap pancasila, UUD 45 tidak islami serta menuduh Indonesia negara taghut dan tidak ada yang baik dalam pandangan kelompok ini. Semua jadi jelek dan ini kontra produktif. Ingat, mendirikan bangsa ini bukan main-main.

Kemudian bagaimana NU khususnya PWNU Lampung menyikapi kondisi memprihatinkan ini?

NU sudah melakukan aksi nyata terkait kondisi ini. Tidak hanya sekedar wacana, karya kata namun karya nyata. NU sudah melakukan langkah-langkah terstruktur terkait kaderisasi melalui Pendidikan Kader Penggerak NU ataupun Madrasah Kader kepada pengurus dan warga NU. Tujuan kaderisasi ini adalah mengarusutamakan paham Islam wasathiyah (moderat). Kenapa harus moderat? Karena fakta Indonesia sudah ditakdirkan oleh Allah sebagai negara multikultural, multietnis, multiagama, multibahasa dan dengan pemahaman yang moderat sampai dengan saat ini masih damai. Namun kalau paham-paham ini (radikal, red) masuk maka akan muncul ketidak damaian di negeri ini. Apa yang dilakukan NU akan dan harus terus diperkuat secara sistematis dan masif.

Perkembangan paham radikalisme di kampus disinyalir juga bersemai subur di masjid-masjid kampus. Bagaimana tanggapan Profesor?

Secara umum ada perbedaan perkembangan paham radikal di masjid kampus perguruan tinggi umum dan masjid perguruan tinggi agama. Kalau di kampus perguruan tinggi agama, memang menjadi tempat dan banyak ahli agama. Sehingga paham-paham seperti ini bisa dibendung. Seperti pengalaman saya ketika menjadi Pembantu Rektor III saya selalu memberikan pengarahan kepada mahasiswa yang akan melaksanakan kajian keagamaan agar mengundang pemateri yang memang memiliki kapasitas dan keilmuan yang jelas. Tidak mendatangkan pemateri yang tidak jelas background (latar belakang) pendidikan agamanya apalagi mendatangkan orang yang memiliki misi politik dibungkus agama.

Kalau di perguruan tinggi umum kenyataannya banyak halaqah-halaqah dan kajian agama beraliran Islam transnasional yang selanjutnya menjadi cikal bakal pergerakan di dunia politik. Di sejumlah negara Timur Tengah, aliran ini sudah dilarang seperti di Mesir, Yordania, Arab Saudi. Karena negara Indonesia adalah negara demokrasi, dipersilahkan sepanjang dia (kelompok Islam transnasional) bisa mendapat tempat di masyarakat. Sehingga kelompok ini pun bisa berkembang di Indonesia dan memiliki jaringan serta memiliki kader yang well-educated (berpendidikan baik).

Mereka juga memiliki tim cyber internet (media sosial) sendiri yang senang memanfaatkan dan menggoreng berita yang sedang viral untuk kepentingan mereka. Apalagi isu-isu terkait agama dari dulu memang menjadi komoditi dan menarik karena ada ayatnya, ada dalilnya, ada penganutnya dan janjinya surga. Dan mereka memiliki kesemangatan beragamanya tinggi namun memahami agama secara tekstualis, tidak melihat konteksnya di mana, masyarakatnya seperti apa. Maka seperti kelompok-kelompok khawarij, Ibnu Muljam itu menjelma kembali.

Kenapa Islam moderat cocok untuk Indonesia dan bagaimana paham radikal mempengaruhi pola pikir masyarakat yang aslinya sudah moderat?

Islam moderat itu damai dengan lingkungan serta menjunjung tinggi budaya selama tidak bertentangan dengan agama. Maka itu kebiasaan seperti Yasinan, Barzanji, Nujuh Hari mampu dilestarikan selaras dengan nilai-nilai agama. Sebelum Islam datang ke Indonesia, sudah ada Majapahit. Sudah mapan selama 600 tahun tidak kebayang bisa bubar. Pada zaman Majapahit yang berbicara masalah agama adalah sekelas Brahma atau Kiai. Dan seorang Priyayi atau Ningrat tidak boleh berbicara masalah agama.

Berbeda dengan kondisi saat ini di mana semua orang bicara agama dengan retorika diri sendiri. Seolah-olah sudah paling alim agama padahal baru saja belajar dari media sosial. Pengaruh perkembangan teknologi informasi memang sangat luar biasa. Dan ini yang dimanfaatkan untuk menyebarkan paham-paham baru ke masyarakat. Saat ini orang yang sudah punya kemampuan bidang agama juga bisa terpapar pola pikir radikal karena membaca broadcast di medsos yang dirangkai dengan kata-kata halus dan narasi yang bagus sehingga kalau orang tidak tahu bisa terpengaruh karena pelan-pelan dimasukkan kalimat-kalimat propaganda yang mempengaruhi pemahaman pembaca. Jangankan yang punya modal pengetahuan agama setengah-setengah, yang alumni pesantrenpun ada yang terpapar paham radikal transnasional melalu media sosial.

Jadi jika tidak hati-hati, semua bisa terpapar radikalisme?

Ya. Tidak hanya pelajar saja namun saat ini sudah ada para cendikiawan yang juga terpapar oleh paham radikal. Anehnya yang bersangkutan tidak merasa radikal tapi merasa benar. Mereka akan terus merasa tidak senang dengan kelompok selain mereka. Semua kan bermula dari rahmah, rasa cinta. Kalau orang tasawuf, lihat orang sakit jiwa saja masih tetep cinta. Lihat orang melakukan yang menurut ilmu fiqh itu jahat kadang tersenyum.

Oleh karenanya kita harus mencontoh kiai-kiai Nahdlatul Ulama yang mampu membentengi diri dari paham-paham radikal walaupun mereka belajar agama lama di Timur Tengah. Seperti Gus Mus, Kiai Said dan yang lainnya. Malah saat ini yang belajar cuma setahun dua tahun begitu pulang ke tanah air sudah berubah dan radikal.

Perilaku dan tindakan radikal berawal dari pola pikir radikal. Sehingga harus ada yang pola deradikalisasi yang salah satunya pemberian ruang untuk Islam washatiyah. Makanya NU saat ini programnya bukan hanya sekedar dakwah menggelorakan Islam washatiyah tapi juga dakwah yang didalamnya ada pendidikan. Jangan pernah merasa lelah karena kalau kita berhenti kelompok ini akan tetap hadir.

Dalam hal ini pemerintah saat ini sangat memerlukan NU. Saya tidak bisa membayangkan jika negara Indonesia ini tidak ada Nahdlatul Ulama. NU itu secara kuantitas banyak. Kualitas keilmuan agama para ulamanya juga tidak diragukan lagi. Kalau ada orang alim walaupun tidak secara langsung menunjukkan ke-NU-annya, namun secara amaliah mayoritas memegang kuat amaliah NU dan paham Ahlussunnah wal Jama’ah.(*)