Wawancara

Kebhinekaan Indonesia Seperti Masa Madinah

Selasa, 29 Agustus 2006 | 11:24 WIB

Masalah perdebatan dasar negara Indonesia sampai saat ini terus mengemuka,.Ada kelompok yang cenderung sekuler, Islam dan mereka yang tetap berupaya mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila. Belakangan ini muncul pula perdebatan mengenai perda syariah yang diterapkan di beberapa daerah. Bagaimana NU mensikapi masalah-masalah tersebut, berikut ini wawancara dengan Ketua PBNU Prof. Dr,. KH Said Aqil Siradj.

Pandangan bapak tentang syariat Islam, sebenarnya dalam konteks Indonesia bagaimana?

Islam tidak hanya membawa akidah dan syariat, tapi lebih dari itu Islam juga membawa tamaddun, agar hidup ini lebih maju. Beradab dan tsaqafah atau berpendidikan serta khadoroh atau berbudaya. Platform terakhir Islam ini adalah tamaddun atau peradaban.

<>

Buktinya ketika nabi Muhammad berada di Makkah selama 13 tahun untuk membangun komunitas yang militan, melakukan kaderisasi ukhuwah Islamiyah. Yang bukan Islam bukan saudara. Ini generasi pertama Islam. Yang Islam saudara, yang bukan Islam bukan saudara.

Setelah pindah ke kota Yasrif, ini dulu nama orang yang mendirikan kota ini. Kota ini ternyata penduduknya majemuk. Islam lokal namanya Ansor, Islam pendatang dinamakan Muhajirin, dan Yahudi sendiri ada tiga suku. Masih ada juga golongan lainnya musyrik dalam jumlah kecil.

Nah setelah melihat masyarakat Yasrif majemuk, maka Rasulullah tidak lagi menggunakan istilah ukhuwah Islamiyah, tetapi ukhuwah madaniyah, persaudaraan untuk seluruh penduduk. Semua sama kedudukannya dalam hukum, siapapun dia. Siapapun yang salah, tidak melihat sukunya harus dihukum. Demikian sebaliknya. Inilah yang dinamakan tamaddun. Maka Yasrif kemudian namanya dirubah menjadi Madinah.

Ini artinya kota yang sudah menggunakan nilai-nilai universal. Dalam Piagam Madinah terdapat 47 pasal. Nabi bertemu dengan seluruh pimpinan suku dan kemudian sepakat mengelurakan kesepakatan Madinah. Bisa dilihat di kitab Sirah Nabawiyah Ibnu Hisam halaman 120-122, ada dua setengah halaman.

Nah dari 47 point itu tidak ada kata Islam, tidak ada. Tidak satupun mengutip al Qur’an. Prinsip-prinsip universal saja yang digunakan. Malah dalam poin 15 disebutkan semua agama diberi kebebasan menggunakan agamanya masing-masing. Terakhir dalam Piagam Madinah ini disebutkan bahwa kesepakatan ini untuk membela yang benar, PKB kan mengambil dari situ ha ha ha....

Ini bukan omong kosong, yang selanjutnya ditaruh di rak saja. Terbukti ketika ada orang Islam membunuh Yahudi, ya bertengkar gitulah. Nabi marah dan berkata “Barangsiapa yang membunuh orang non Muslim, maka ia berhadapan dengan saya. Saya pengacaranya,” begitulah kira-kira. Luar biasa itu. Akhirnya nabi terpaksa mencari para donor untuk menyumbang ahli waris Yahudi sebagai ganti ruginya. Ini bukan omong kosong.

Lagi...suatu saat ada janazah yang lewat, nabi berdiri untuk menghormatinya, dibilangin, ini jenazahnya orang Yahudi. Dijawabnya .”Ya saya tahu ini jenazahnya orang Yahudi”. Ini betul-betul platformnya tamaddun, bukan yang lainnya.

Nah, Indonesia ini kondisinya seperti Madinah, ada sekian agama, sekian etnis, sekian budaya. Maka menurut NU, untuk menjaga persatuan, Islam ini kita amalkan, tidak kita konsittusikan, tidak kita legal formalkan. Tapi kita amalkan setiap waktu, sholat, puasa, zakat, haji, apalagi akhlak. Akhlak Islam, tapi negara biarkan negara kesatuan.

Dulu KH Wahid Hasyim, bapaknya Gus Dur, salah satu dari anggota tim sembilan PPKI, setuju penghapusan 9 kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan, lalu Kiai Wahid Hasyim mengusulkan adanya departemen agama yang fungsinya khusus untuk membangun keagamaan.

Bagaimana dengan perda syariat yang belakangan ini bermunculan?

Yang kita takutkan agama kalau diformalkan akan dijadikan alat politik. Agama akan dijadikan alat untuk memberantas para oposan. Sepanjang sejarahpun selalu begitu. Kalau ada oposan selalu dianggap kafir, zindiq, padahal itu bukan masalah kafirnya. Ini oposisi kritis. Hallaj dibunuh karena dibelakangnya ada orang-orang yang teraniaya, kulit hitam yang didholimi. Korbannya banyak, seperti pujangga namanya Sholeh bin Abdul Kuddus. Abdullah bin Mukoffak juga dibunuh dengan alasan kafir karena menentang negara.Islam

Karena negaranya negara Islam, maka yang menentang Islam berarti kafir, lha begitu….Di Saudi kalau ada yang mengkritik pemerintah dianggap kafir, zindik karena menentang pemerintah Islam…padahal bukan masalah agama, tetapi masalah perilaku penguasa yang tidak benar. Senjata yang paling efektif itu agama. Allahu Akbar…. Islam, padahal mereka dibayar kan.

Perda syariat Islam juga diusulkan di daerah yang bukan mayoritas penduduknya muslim seperti di Bul