Wawancara

NU Harus Proaktif Dekati Generasi Milenial

Rabu, 11 Oktober 2017 | 22:01 WIB

Saat ini, kurang lebih tiga puluh empat persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah generasi milenial. Iya, generasi yang lahir di antara tahun 1981 hingga 2000. Dengan demikian, generasi milenial adalah mereka yang berusia 15 sampai 35 tahun. Generasi yang berada pada masa produktivitas yang tinggi. Dengan jumlah yang sedemikan besar, generasi milenial inilah yang mempengaruhi wajah daripada Indonesia.

Di dalam bukunya yang berjudul Generation M: Generasi Muda Muslim dan Cara Mereka Membentuk Dunia, Shelina Janmohammed menuliskan beberapa contoh generasi muslim milenial di negara-negara Barat. Mereka berpendidikan tinggi, memiliki karir yang cemerlang, berhijab (bagi perempuan), fashionable, gaul, cerdas, dan modern. Mereka juga cinta perdamaian dan mengecam keras terorisme.

Lantas, bagaimana dengan generasi muslim milenial di Indonesia? Seperti apakah karakter mereka? Bagaimana pandangan keagamaan mereka? Apa yang seharusnya dilakukan NU untuk merangkul mereka? 

Untuk menjawab itu, jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat mewawancarai Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center dan juga penulis buku Millenial Nusantara. Berikut hasil wawancaranya:

Bagaimana dengan sebaran generasi Muslim milenial?

Generasi ini paling banyak ada di kota daripada di desa. Secara sebaran penduduk, penduduk kota lebih banyak daripada penduduk desa. Sehingga kalau kita lihat, generasi ini akan sangat mewarnai segala aspek di perkotaan. Karena kebanyakan berada di kota, maka muslim milenial ini sangat modern.

Seperti apa karakter dari generasi Muslim milenial ini?

Generasi ini mengkonsumsi internet paling banyak jika dibandingkan dengan generasi-generasi yang lainnya seperti generasi baby boomers dan generasi x, maka pola pikir generasi milenial ini sangat berbeda. Mereka mendapatkan banyak informasi dari internet dan hal itu membentuk karakter mereka. 

Karakter generasi ini itu ada tiga. Pertama kreatif. Pola pikir mereka itu penuh dengan ide dan gagasan. Hal ini dibuktikan dengan maraknya start-up. Kedua, confident. Mereka tidak hanya kreatif saja tetapi juga berani dan percaya diri untuk mengeksekusi ide-ide tersebut. Ketiga, connected. Terhubung antara satu dengan yang lainnya, baik di dunia nyata maupun maya. 

Maka dari itu, pola pikir milenial ini sangat terbuka, lebih individualis, dan lebih tertarik kepada sesuatu yang baru.

Soal keagamaan, mereka ini cenderung kemana?

Muslim milenial hidup di tempat yang tidak komunal karena berada di kota. Ini menjadi tantangan berat bagi NU yang amaliyahnya bertumpu pada komunitas yang komunal agraris. Sehingga praktik-praktik kegamaan yang sifatnya komunal akan mulai ditinggalkan oleh generasi ini karena faktor waktu, kesempatan, dan lainnya. 

Kehidupan di kota adalah beragam dan multikultur. Sehingga pertarungan wacana keagamaan lebih terbuka. Kota adalah pasar terbuka bagi semua aliran keagamaan dan ideologi. Sehingga wajah Muslim milenial itu tidak monolitik. Sekarang, muslim milenial NU itu bisa tidak mewarnai di kota. Kalau tidak bisa, maka mereka yang akan mewarnainya. 

Apakah ada survei tentang hal ini, pak?

Hasil survei kita yang terbaru menunjukkan bahwa ritual keagamaan di kota itu masih relatif ritual Nahdliyin. Namun hanya sebatas ritual saja, sedangkan pola pikir dan pandangan keagamaannya berbeda dengan NU. 

Ada tantangan bagi NU di sana?

Iya, ada beberapa tantangan yang dihadapi NU terhadap generasi muslim milenial ini. Pertama, menyelaraskan antara perilaku keagamaan dengan pandangan kebangsaan. Mereka amaliyahnya NU, tetapi pandangan kebangsaannya tidak sama dengan NU. Ini yang menjadi tantangan.

Kedua, tantangan ekonomi. Generasi milenial ini adalah usia produktif, maka perhatian terhadap ekonomi jauh lebih tinggi. Apakah NU mampu memfasilitasi mereka untuk mendapatkan keamanan dari sisi ekonomi. Seperti melakukan pelatihan-pelatihan ekonomi untuk generasi milenial atau memberikan akses pekerjaan kepada mereka. Jika mereka sudah mendapatkan keamanan ekonomi, maka mereka akan bisa menjadi NU yang sesungguhnya.

Ketiga, tantangan sosial. Generasi ini memiliki sifat yang individualis, maka dari itu susah untuk mengumpulkan mereka dalam suatu acara. Oleh karena itu, seharusnya NU lebih banyak hadir di komunitas-komunitas mereka. Jangan mengumpulkan mereka berdasarkan geografi, tetapi berbasis komunitas. Seperti komunitas pecinta potografi, ibu-ibu arisan, dan lainnya 

Jadi apa yang seharusnya dilakukan NU untuk merangkul mereka?

Organisasi seperti NU harus mendekat kepada mereka, jangan harap mereka yang akan mendekat kepada NU. Jadi, NU yang proaktif mendekat ke mereka. Misalkan kenapa NU tidak membuat acara tahlil, maulid nabi, istighotsah, dan lainnya di mall. Poinnya adalah kita harus proaktif mendekat kepada mereka. 

Termasuk aktif di media sosial?

Iya, termasuk aktif di media sosial. Media sosial dan internet adalah panggung terbuka. Semua ideologi dan pemikiran bisa masuk di sana dan tidak ada yang bisa melarangnya. Kalau NU tidak hadir di media sosial, maka wajah Islam yang tampak adalah wajah Islam model mereka. 

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan NU untuk merangkul mereka?

Pertama, dakwah dengan menggunakan bahasa mereka. Generasi ini sangat aktif membicarakan tiga hal yaitu musik dan film, olahraga, dan IT (internet, sosial media, dan lainnya). Untuk mendekati generasi milenial ini sebaiknya menggunakan bahasa-bahasa mereka. Bahasa olahraga, bahasa musik, bahasa film, dan bahasa internet. Jangan berbicara soal politik terus menerus karena itu tidak akan masuk ke mereka. Meskipun kita bicara soal agama, tetapi bungkusnya adalah tiga hal itu. 

Kedua, generasi ini tidak suka diindoktrinasi. Mereka lebih suka jenis komunikasi yang dua arah seperti diskusi dan dialog. Tentu saja dengan menggunakan ustad atau kiai yang seumuran dengan mereka. Maka dari itu, sebaiknya NU mengorbitkan ustad-ustad muda. Secara keilmuan NU mendalam, tetapi kurang diorbitkan dan dikemas dengan bagus. 

Ketiga, aktif di media sosial. Teman-teman di NU harus aktif di media sosial. Kalau menulis status lima kali sehari, mbok ya satu atau dua status tersebut tentang amaliyah NU. Jangan semua status berisi tentang narsisme. Mungkin NU bisa menginisiasi gerakan satu status setiap hari tentang NU. Generasi milenial ini tidak suka yang bertele-tele, mereka lebih suka yang visual maka dibuatlah video-video pendek.