Wawancara

Perlu Ada Pembaharuan Fiqrah Nahdliyyah untuk Kedua Kalinya

Rabu, 19 Juli 2006 | 05:28 WIB

Fiqrah Nahdliyyah atau landasan berfikir Nahdalatul Ulama (NU) --atau ada yang menyebutnya Khittah Nahdliyah-- akan menjadi pembahsan penting dalam Musyawarah (Munas) Alim Ulama NU di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, 27-30 Juli 2006 nanti. Melalui beberapa halaqoh, para kiai telah menyusun draft keputusan Munas nanti, berisi tentang rincian dan penjelasan kembali tentang Fiqroh Nahdliyyah. Ada banyak perubahan yang telah terjadi belakangan ini, itu berarti sekaligus ada banyak koreksi terhadap beberapa hal yang telah dilakukan oleh NU dalam menyikapi perubahan itu, dan tentunya ada hal baru yang semestinya segera dilakukan. Semua itu akan dibicarakan dalam kontek Fiqrah Nahdliyyah.

Berikut Wawancara NU Online dengan Rais Syuriah PBNU KH. Ma’ruf Amin, Ketua Panitia Pelaksana Munas dan Konbes Surabaya yang aktif dalam penyusunan draft keputusan Munas dan Konbes.

<>

Asal muasal Fiqroh Nahdliyyah itu sebenarnya dari mana?

Fikrah nahdliyah itu kan landasan berfikir NU, atau biasa disebut manhajul fiqr. Fikrah Nahdliyyah itu yang dituangkan ketika mendirikan NU. Itu berangkat dari landasan berfikir pesantren atau fiqrah ma’hadiyah. Itu diambil dari berbagai sumber al-Kutub Mu’tabarah (kitab-kitab rujukan) kemudian menjadi Fiqrah Ma’hadiyah kemudian dalam Tafwirul Afkar di Surabaya menjadi Fiqrah Nahdliyah. Yang saya tangkap begitu.

Ada lima prinsip. 1)Moderat atau tawasutiyah; 2)Tasamukhiyah atau toleran; 3)Revormatif atau islahiyah; 4)Dinamis ata tathowwuriyah; 5)Memiliki metode berfikir yang baku atau kita sebut manhajiyah.

Pertama, tawassutiyah itu artinya di dalam melakuakn dakwah itu kita moderat. Kita berdakwah karena itu bagian dari perintah agama. Ud’u ila sabili robbika bil khikmah wal mau’idzatil hasanah (Ajaklah ke jalan tuhanmu dengan cara dan tutur yan baik –-ayat al-Qur’an). Tapi kalau mereka tidak menerima ya kita tidak memaksakan. Itu kan moderat. Ajaran-ajarannya tidak terlalu keras, juga tidak terlalu lunak.

Kedua, tasamukhiyah itu artinya toleran terhadap perbedaan agama maupun perbedaan pendapat. Perbedaan agama itu prinsipya kan lakum dinukum waliyadin (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku –-ayat al-Qur’an). Kita juga bisa menerima perbedaan pendapat dikalangan umat Islam, dan perbedaan umat itu suatu yang niscaya sebagai akibat dari cara berfikir ijtihadiyah. Sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan.

Fiqrah Nahdliyyah membatasi perbedaan itu?

Perbedaan yang dijadikan landasan berfikir NU, atau yang diterima oleh NU itu kalau kalau dalam masalah akidah sepanjang masih dalam lingkup Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Kalau difikih ada Mazdab empat: HAnafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Ini disebut majalul ikhtilaf, atau wilayatul ikhtilaf. Artinya NU bisa mentolelir selama masih dalam wilayah itu. Di luar itu namanya penyimpangan. NU menerima sepanjang itu tidak keluar dari wilayah perbedaan, tidak keluar dari kerangka berfikir yang oleh oleh nabi disebut ma ana alaihil yauma wa ashabnih atau oleh ulama disebut manhajul fikr. Jadi ma ana alaihil yauma wa ashabih itu koredor dimana perbedan bisa diterima dan dikelola. Jadi tasamnuh di sini ada juga batasnya. Kalau sudah keluar tidak diterima sebagai perbedaan.

Bisa dicontohkan!?

Misalnya Ahmadiyah. Itu sudah keluar dari koridor. Karena itu rapat suriah NU 1995 ketika waktu itu saya menjadi koordinator harian pengurus besar dan rapat syuriah yang diadakan membahas Ahmadiyah itu memutuskan bahwa Ahmadiyah itu sudah keluar dari koridor, tidak ditolelir.

Lalu?

Menyikapinya kita minta dia untuk kembali kejalan yang benar. Arruju ilal haq. Itu ittifaq (kejepakatan) ulama tahun 1995. Jika tidak mau ruju ilal haq ya mereka di luar, ya kita menganggap dia di luar. Ya mestinya pemerintah melarang itu, tapi terserah, itu wewenang mereka.

Tindakan Kita sampai dimana?

Ya kita sampai mengusulkan itu ditutup karena melanggar prinsip perbedan, karena meniyimpang. Jadi ada perbedaan dan ada penyimpangan. Waktu itu juga ada pengedilan-pengadilan. Dan itu keputusan internasional kan, baik di Makkah maupun di Mesir. Jadi itu kesepakatan dunia.

Tahun 1995 Ahmadiyah itu muncul. Kalau menyimak tulisan Kiai Ahmad shiddiq itu bikinan pemerintah Inggris. Saya prinsipnya seperti itu?! bahwa ada perbedan ada penyimpangan. Yang ditasamuh itu perbedaan, bukan penyimpangan. Sepanjang itu masih di madzab empat. Kalau penyimpangan tidak ditolerir, tapi diluruskan.

Lalu, dulu keputusan NU tidak ditentang, tapi sekarang NU ditentang.

Mungkin ada cara berfikirnya beda. Kedua, karena mungkin dia belum tahu kalau NU pernah memutuskan itu, Masdar Farid Mas’udi waktu itu belum masuk pengurus. Said Aqil Siradj itu kan masih di Makkah waktu itu. Jadi itu menurut saya memaknai tasamu