Wawancara 10 TAHUN NU ONLINE

Pesantren Cilacap Lahirkan Seniman Violin

Selasa, 26 Maret 2013 | 22:00 WIB

Sagaf Faozata Adzkiya adalah violinis muda yang memiliki pengalaman pentas mendunia dibesarkan dalam keluarga pesantren di Cilacap, Jawa Tengah. Di kala kecil, ia sering bermain rebana di lingkungan rumahnya.

<>
Ia menamatkan belajarnya di Sekolah Menengah Musik Yogyakarta dengan instrumen violin pada tahun 2003. Ia kemudian melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan instrumen yang sama. Ia menamatkan ISI pada tahun 2011.

Ia memiliki sejumlah pengalaman pentas. Pengalaman pentasnya antara lain, pernah menjadi anggota orkestra kemerdekaan 17 Agustus  (Gita Bahana Nusantara) di Istana Merdeka tahun 2002, 2007, 2008, 2009, 2010; menjadi anggota Southeast Asian Youth Orchestra And Wind Ansamble (SAYOWE) di Bangkok tahun 2004, 2007, 2008; mengikuti ISI Japan workshop di Tokyo tahun 2007.

Bersama Buffa String Quartet, ia mendampingi Midori String Quartet di Yogyakarta tahun 2010. Ia pernah menjadi anggota Asian Simphoni Orchestra di Vietnam tahun 2011. Di tahun 2012, ia mengikuti Cambodian Music Festival di Pnom Penh. Terakhir, ia bermain solo bersama Ngayogstringkarta String Orchestra di Malang tahun 2013.Pada malam pidato kebudayaan dan Hadiah Asrul Sani dalam rangka 10 tahun NU Online, ia akan mementaskan instrumental violin lagu Indonesia Raya, Selawat Badar, dan beberapa lagu lainnya di Gedung PBNU Jakarta Pusat, Kamis (28/3) malam.

Bagaimana proses perjumpaan seorang Sagaf dengan dunia violin yang mengantarkannya ke panggung-panggung nasional maupun internasional, berikut ini merupakan hasil wawancara NU Online dengan violinis muda berbakat melalui telepon, Kamis (21/3) malam.

 

Bagaimana keterkaitan Anda secara pribadi dengan NU?

Masalahnya dari kecil, saya mengetahui NU. Keluarga saya itu mengelola pesantren dari mbah, bapak, dan paklik. Waktu kecil, saya ikut pesantren di daerah Mejenang. Pengelolaan pesantren diteruskan oleh paklik tepatnya di daerah Paku Haji, Majenang, Cilacap Jawa Tengah. Jadi, dari kecil, saya sangat dekat dengan dengan pesantren.

Pernah masuk pondok pesantren?

Saya belum pernah mondok. Tetapi, saya hanya ikut pengajian mbah di pesantren.

Sempat mengaji apa saja?

Saya ikut mengaji Alquran. Kalau mengaji kitab kuning, saya hanya ikut sebentar, tidak sampai selesai.

Kitab apa saja?

Kitab Safinah. Itu pun tidak sampai tamat karena langsung masuk sekolah musik di Yogyakarta.

Sekolah apa?

Saya ambil jurusan musik di Yogyakarta.

Apa tanggapan orang tua?

Awalnya mereka menentang. Tetapi, saya menunjukkan antusias serius di musik. Saya juga meminta mereka dengan agak sedikit merayu seperti anak kecil.

Apa yang membuat Anda mencintai NU?

Setahu saya, penanaman dakwah lewat seni dan budaya. Secara awamnya seperti itu. Ada rebana dan selawatan. Kalau di Muhammadiyah, perihal seperti itu dianggap bid‘ah. Kalau di NU, perihal kayak begitu nyaman-nyaman saja. Karena saya senang dengan kesenian, sikap NU seperti itu sangat membahagiakan saya.

Siapa tokoh NU yang Anda suka?

Salah satunya Gus Dur. Dia memahami musik mulai dari klasik, kontemporer sekaligus aneka genre musik.

Bagaimana cara Anda menjalani hidup sebagai warga NU?

Menurut saya, semua hal  kehidupan bagi warga NU bisa dibuat sederhana. Mungkin bisa diartikan, warga NU itu tidak memaksakan diri untuk menunjukkan identitas. Setiap orang memang harus mempunyai tingkat pemikiran yang tinggi. Warga NU terbukti bisa. Hanya saja warga NU tidak menunjukkan kemampuannya. Saya menjalani kehidupan sesederhana mungkin, tidak eksklusif dan sebagainya. Dari NU, saya menyukai sikap hidup yang lebih merakyat.

Bagaimana cerita kedekatan Anda dengan violin?

Pada awalnya saya suka bermusik pada saat SMP. Saya belajar gitar otodidak. Saya menonton acara musik di televisi. Saya membaca majalah-majalah musik. Semuanya menunjukkan semangat tinggi saya untuk belajar musik.Awalnya saya bermain gitar. Ketika semakin giat belajar otodidak, seorang saudara menyarankan saya sekolah musik di Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta, komunitas gitar di sekolah musik itu kurang produkif. Sementara violin dan orkestranya maju pesat. Lalu saya berkeinginan mempelajari instrumen yang ada di orkestra itu. Saya jatuh cinta pada violin. Violin alat musik gesek yang suaranya lebih tinggi dari viola.

Jadi, pintu masuk saya dalam bermusik melalui saudara itu. Karena ia menyarankan saya masuk ke sekolah musik itu.

Rencananya Anda mementaskan Selawat Badar dengan violin?

Saya akan menampilkan pengalaman bermusik. Saya akan menampilkan instrumentalnya saja Saya hanya menyampaikan notasi, namun aku tidak berpikir akan detail dari Selawat Badar. Dengan penampilan itu, saya kira pendengar akan tergugah “Oh, itu lagu Selawat Badar”. Dalam pementasan itu, saya hanya memberi pengantar melodinya yang akan membuat setiap orang bernyanyi. Jadi saya memberikan ruang bagi pendengar untuk menelaah sendiri. Instrumental itu tidak menunjukkan detail Selawat Badar.

Sebelum di PBNU, Anda pernah mementaskan Selawat Badar?

Dulu, saya pernah bermain rebana. Ibu saya di rumah, cukup aktif di kegiatan rebanaan. Saya terkadang diminta mengiringi musikal, dinamik, dan ritmisnya. Jadi saya mengarahkan dari segi musikalnya saja. Pesertanya adalah ibu-ibu. Rebanaan itu waktu kecil.

Selain Selawat Badar, lagu apa yang pernah Anda dengar?

Selawat, kasidah, grup Nasidaria, Wafiq Azizah, dan semacamnya. Karena, bapak sering memutar lagu-lagu itu. Jadi saya mengetahui itu secara tidak langsung. Namun, saya tidak terlalu fanatic sehingga menutup diri dari jenis musik lainnya.

Sebentar lagi Anda akan bermain di PBNU. Apa tanggapan Anda?

Saya sangat bangga. Tadi saya sempat mengabarkan perihal itu melalui telepon kepada keluarga di Cilacap. Keluarga di rumah sangat antusias. Mereka mengucapkan, “Selamat! Sukses!” Mereka sangat bangga.

 

Staf Redaksi: Alhafiz Kurniawan