Selain itu pemerintah juga tidak akan memberikan bantuan apapun kepada pesantren yang anti NKRI serta tidak akan mengakui ijazah pesantren tersebut.
Membahas hal ini, Muhammad Faizin dari NU Online melakukan wawancara terkait kebijakan pemerintah ini dengan Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung Aom karomani yang juga Wakil Rektor Universitas Lampung, Ahad (13/5). Profesor Ilmu Komunikasi ini menjelaskan berbagai hal tentang hubungan pondok pesantren yang radikal dengan terorisme di Indonesia.
Bagaimana pendapat profesor terhadap kebijakan pemerintah yang akan menata perizinan dan memberikan sanksi kepada pesantren yang radikal?
Saya menilai pemerintah tidak cukup memberikan sanksi dengan tidak memberikan bantuan ataupun tidak mengakui ijazah yang dikeluarkan oleh pondok pesantren tersebut. Jika hanya sanksi seperti itu, tidak diberi bantuan, tidak diakui ijazahnya dan lain-lain mereka tetap akan bergerak di bawah tanah dan lulusaannya nanti akan memasuki lembaga pendidikan swasta lainnya.
Pemberlakuan kebijakan ini harus berlaku surut kepada seluruh pesantren yang sudah berdiri dan diberi izin. Artinya jika terindikasi dan terbukti ada pesantren yang sudah berdiri mengajarkan radikalisme kepada para santrinya maka pemerintah harus mengambil tindakan dengan tidak mengeluarkan perpanjangan izin operasional atau membubarkannya sesuai mekanisme.
Pemerintah harus tegas dalam menangani pondok pesantren yang anti NKRI. Pondok pesantren anti NKRI dan juga menggugat dasar negara baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi harus diajukan ke pengadilan dan dibubarkan.
Ini (pondok pesantren radikal anti NKRI, red) sungguh amat berbahaya bagi keutuhan negara. Pemerintah harus mengevaluasi konten kurikulumnya. Karena orang awam akan percaya dengan ideologi yang mereka kembangkan yang bertentangan dengan negara melalui kemasan agama.
Jadi apa pandangan profesor terhadap beberapa pesantren-pesantren yang terindikasi radikal sekarang ini?
Pondok pesantren seperti ini lebih menitikberatkan kepada kemampuan keilmuan yang terlihat dan terdengar. Pesantren seperti ini tidak mengedepankan prinsip Islam moderat dan tidak menghormati nilai-nilai keragaman budaya namun mengandalkan retorika berfikir serta kemampuan berbicara untuk mempengaruhi umat dengan pemahaman tekstualnya.
Mereka akan fasih baca Qur'an akan hafal Qur'an dan Hadits dan lain-lain. Piawai bahasa Arab yang membuat takjub publik dan mengikuti ajarannya. Itu sama berbahayanya dengan teroris dan narkoba yang selama ini mengancam negara. Bahaya!
Pesantren radikal ini sangat mengganggu arah dan tujuan pendidikan negara yang termuat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945. Dan tentunya jika ada satuan pendidikan baik informal maupun non formal yang merongrong Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa maka harus dibawa ke pengadilan.
Jadi apa langkah pemerintah selanjutnya?
Kalau ada bukti kuat harus dibubarkan. Dan ini salah satu tugas aparat inteligen untuk mencari bukti-bukti dan dokumen-dokumen mereka. Harus dilihat apa latar belakang pendirian dan pendirinya. Semua harus sadar bagaimana efek dan sepak terjang para lulusan ketika sudah keluar dari pesantren tersebut mereka sudah menguasai dasar-dasar ilmu agama dan dibekali dengan pemahaman radikal dan eksklusif.
Begitu mereka keluar dari lembaga pendidikan mereka sudah punya kemampuan dasar agama. Ketika menjadi pembicara ustadz di tengah-tengah publik luas mereka menggunakan bungkus-bungkus agama untuk menyerang ideologi kita.
Sudah saatnya pemerintah lebih fokus menata dan mensinkronkan lembaga pendidikan apa pun dengan undang-undang dan ideologi negara kita. Jika dulu pemerintah banyak memberikan kelonggaran dalam mendirikan pesantren karena memang pesantren merupakan lembaga informal serta tidak memimbulkan efek negatif, namun sekarang pemerintah harus hadir ikut menangani pesantren secara lebih intensif.
Sebenarnya bagaimana kondisi pesantren saat ini? Dan bagaimana masyarakat menyikapi pesantren yang radikal?
Kalau dulu pesantren identik dengan NU. Kalau sekarang nama pesantren dikemas dengan paham mereka dan dijual ke masyarakat. Kelompok ini justru sedang jualan. Identitas pesantren dimanfaatkan oleh mereka. Dengan istilah pesantren, bayangan masyarakat tentang mereka pasti baik. Padahal garis keras.
Fakta ini harusnya menjadi perhatian dan kehati-hatian masyarakat untuk memilih pesantren dengan baik. Tidak hanya melihat fasilitas dan namanya saja namun juga harus paham siapa yang mendirikan dan kurikulum apa yang diajarkan.
Level pesantren yang identik dengan NU dibajak oleh mereka, publik dikelabuhi masuk dalam jebakan mereka. Bahaya banget ini.
Saat ini perlu langkah sistematis dari pemerintah untuk menata kembali pesantren yang ada dengan tidak melanggar HAM dan undang-undang pendidikan nasional tetapi bisa mengembalikan pesantren yang menyejukkan tentunya dengan bukti-bukti kuat.
Apa contoh langkah pemerintah dalam ikut mengembalikan marwah pesantren kepada aslinya?
Pemerintah harus ikut mengarahkan melalui konten kurikulum semisal dengan memasukkan kitab-kitab moderat seperti Hikam, Ihya Ulumiddin. Semacam mata kuliah umum di perguruan tinggi. Jika pesantren tersebut menolak, ini bisa menjadi indikasi pesantren tersebut memiliki visi dan misi lain. Penolakan pesantren terhadap kurikulum moderat akan menjadi irisan terganggunya negara serta ideologinya.
Kita resah dengan radikalisme selama ini. Tenaga, fikiran dan anggaran negara kita habis untuk mengantisipasi kelompok yang selalu menggugat dasar negara ini. Kapan kita akan membangun sektor lain yang lebih bermanfaat?.
Ada benang merah dari penataan pesantren dan pembubaran pesantren radikal yaitu penumpasan terhadap teroris yang sampai dengan saat ini masih saja terjadi di Indonesia. Pesantren radikal sudah jelas bagian dari masalah munculnya teroris secara sistemik selain hal-hal lain seperti gerakan dan ideologi transnasional yang demikian mudah berkembang akibat kemajuan teknologi informasi.
Ada pro dan kontra dimasyarakat yang menilai jika ada teroris sering dikaitkan dengan Islam. Apa pendapat profesor?
Perlu saya tegaskan yang teroris itu bukan Islamnya. Yang teroris adalah pelaku terornya yang mungkin kebetulan beragama Islam. Sehingga saya mengajak masyarakat untuk dengan jernih melihat akar permasalahan dari terorisme. Tidak ada agama yang mengajarkan teror. Semua agama mengajarkan humanisme, saling menghormati dan saling mencintai. Tidak saling menyakiti.
Masyarakat harus sadar dan mengutuk sang pelaku teror yang membungkus tindakannya dengan nama agama. Perkembangan media sosial saat ini dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mencari simpati dan dukungan atas tindakan terornya. Mereka mengajak masyarakat mendukung mereka dengan memelintir motif mereka.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua