Wawancara

Prof. Masykuri Abdillah: Ulama Dapat Menyelesaikan Konflik Dunia

Sabtu, 2 Agustus 2008 | 04:06 WIB

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar konferensi cendikiawan dan ulama se-dunia atau International Conference of Islamic Scholar III pada 30 Juli sampai 1 Agustus 2009 di Hotel Borobudur Jakarta Pusat. Kegiatan ini mengambil tema Islam as Rahmatan Lil 'Alamin: Peace Building and Conflict Prevention in The Muslim World. Seperti apa konsep kegiatan tersebut? Berikut Wawancara dengan Ketua Panitia ICIS III Prof. Dr. Masykuri Abdillah.

PBNU kembali menggelar konferensi ICIS. Kira-kira fokus kegiatan kali ini apa?


Ini kan konferensi ICIS ketiga. ICIS pertama dulu dilaksanakan untuk menyamakan wacana tentang Islam Rahmatan Lil Alamin. Jadi masih pada tataran konseptual. ICIS kedua tahun lalu, sudah mulai membahas pada wilayah implementasi dan mengurai problem ummat Islam, tetapi sifatnya masih konseptual juga. Nah yang sekarang, kita upayakan lebih implementatif. Kita tidak hanya sebatas berwacana, tapi ada upaya-upaya lebih riil dalam menyelesaikan persoalan ummat Islam, terutama mencari resolusi konflik di berbagai belahan dunia Islam.<>

Kenapa fokus pada konflik?

Kita menyadari, di beberapa negara Islam atau yang mayoritas warganya Muslim, sering terjadi konflik. Konflik itu terjadi dengan berbagai latar penyebab. Kita ingin mengurai dan menganalisis anatomi konflik dalam dunia Islam, sekaligus merekam upaya menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian. Tujuan ICIS III ini adalah mengulangi kembali bagaimana konsep Islam tentang perdamaian, akar konflik dan kekerasan, semua itu kita munculkan sebagai kerangka teologisnya. Begitu juga kerangka akademisnya, termasuk analisis terhadap peristiwa atau kejadian konflik di berbagai dunia Islam. Anatominya kayak apa, penyebabnya seperti apa, akarnya bagaimana? Apakah karena faktor agama, politik, atau ekonomi?

Menurut Anda, anatomi konflik di dunia Islam itu apa?

Paling tidak, dalam analisis awal kami, konflik kerap terjadi karena ekonomi dan politik. Ada kekuasaan politik dan ekonomi yang menimbulkan konflik. Ada juga faktor perbedaan etnis, misalnya antara Kurdi-Arab, Syiah-Sunni, dan sebagainya. Tetapi kalau kita cermati lebih detail, kadang (konflik) itu bukan hanya faktor perbedaan etnik atau teologis semata, lebih pada soal ekonomi-politik. Ekonomi politik punya pengaruh besar sebagai akar konflik.

Jadi perbedaan teologi hanya bungkus saja?

Sebenarnya begitu. Mulanya konflik berawal dari ketimpangan ekonomi dan politik, seperti yang terjadi di banyak belahan dunia lain. Kadang ada faktor luar yang mempengaruhi. Seperti penyerangan Amerika ke Irak misalnya. Itu bukan persoalan agama, tapi kepentingan ekonomi, agar bisa mengontrol minyak di timur tengah. Terbukti ketika ada penentangan terhadap perang Irak, muncul slogan no war for oil. itu menunjukkan bahwa faktor ekonomi lebih dominan dibanding agama.

Kalau akar konflik lebih banyak karena ekonomi, kenapa yang diundang di ICIS banyak tokoh agama?

ICIS III tidak sampai mengurai teori-teori ekonomi. Kita berupaya mencari latar belakang, akar-akar konfliknya. Tetapi di sini juga ada ilmuan sosial dan politik. Jadi ulama dan cendikiawan.

PBNU telah melaksanakan tiga kali ICIS. Kira-kira ketersambungan tiga program itu apa?

Yang jelas masih sama, framenya tetap Upholding Islam Rahmatan Lil Alamin. ICIS I tanpa anak judul. ICIS II ada. Ketiga ada kaitannya dengan penyelesaian konflik. Islam Rahmatan Lil Alamin itu kan bisa dilihat dari berbagai perspektif. Mungkin kedepan kita akan membahas soal kemiskinan, selanjutnya lagi soal ilmu pengetahuan, karena rahmat itu terkait dengan bagaimana memanfaatkan alam sebaik-baiknya. Barangkali, dua tahun lagi kita akan membahas bagaimana mengatasi kemiskinan di dunia Islam. Berikutnya lagi mengatasi ketertinggalan dunia Islam dalam pendidikan. Kedepannya lagi mengatasi ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi ada kesinambungan, dengan frame utama Islam Rahmatan Lil Alamin.

Kembali soal konflik dan upaya perdamaian, bukankah banyak lembaga-lembaga internasional telah melakukannya?

Betul. Berbagai upaya perdamaian dunia telah dilakukan, baik bersifat lokal, regional, bahkan melibatkan lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, OKI, dan organisasi lainnya. Tetapi konflik tetap berjalan atau masih ada. Karena itu, kita berpikir untuk melihat potensi lain yang belum banyak tergarap dalam menyelesaikan konflik di dunia Islam, yakni peran ulama dan cendikiawan. Dalam banyak kasus, ulama sudah berperan membantu menyelesaikan konflik tetapi belum dioptimalkan. Ulama punya cara khas dalam penyelesaian masalah, bukan dengan pendekatan hard power, tetapi soft power.

Apa ada upaya misalnya yang terlibat di ICIS ini mencoba menjadi mediator ketika ada konflik di belahan dunia Islam?

Saya yakin arahnya ke sana. Ada upaya untuk merumuskan cross border ulama, melampaui batas negara. Bisa saja ulama dari Indonesia diajak ke timur tengah dalam memberikan kontribusi menyelesaikan konflik di sana. Ini sebenarnya sudah dilakukan. Pak Hasyim misalnya beberapa kali diundang ke Thailand untuk menjadi mediator dengan menggunakan pendekatan keagamaan. Di philipina selatan misalnya, kita juga terlibat. Selama ini, peran mediasi banyak dilakukan negara. Tetapi itu tidak cukup. Perlu support civil society. Kita berharap ada mediator alternatif, yakni ulama.

Anda yakin mediasi ulama lebih efektif dibanding negara?

Saya tidak mengatakan yang satu lebih efektif dibanding lainnya. Mungkin ulama bisa lebih efektif, karena itu langsung ke masyarakat. Dengan menggunakan simbol-simbol agama, upaya penyelesaikan konflik mungkin lebih mudah diterima oleh kelompok-kelompok yang bertikai. Peran negara tetap diperlukan, badan-badan PBB juga, termasuk media. Pelibatan ulama bisa menjadi alternatif penyelesaian konflik.

Sejauh mana respon masyarakat dunia Islam terhadap penyelenggaraan ICIS I dan II?

Kita bukan bermaksud berbusung dada, tapi kenyataan nama Ummat Islam di Indonesia antara lain dikenal luas karena ada ICIS ini. Biasanya acara-acara Internasional itu yang menyelenggarakan pemerintah, dan pesertanya juga pemerintah. Sementara untuk people to peole, hubungan antara ulama Indonesia dengan non-Indonesia, masih jarang. Sehingga masih banyak ilmuan dan ulama belum mengetahui tentang Indonesia. Sekarang mereka lebih memahami Indonesia. ICIS digelarsekaligus mempromosikan Islam Indonesia ke luar negeri.

Di Indonesia sendiri kerap terjadi konflik. Kenapa PBNU menganggap perlu membahas konflik secara global?

Kita melihat konflik di Indonesia sudah cukup diatasi dengan baik. Misalnya konflik aceh. Itu akan kita sampaikan dalam forum ICIS. Kita juga pernah mengalami konflik di Poso dan Ambon. Itu konflik cukup keras karena faktor ekonomi-politik tapi dibawa ke ranah agama. Secara umum, di banding luar negeri, Indonesia cukup baik dalam menyelesaikan konflik. Negara kita lebih majemuk, tapi ternyata bisa lebih demokratis. Itu dianggap cukup bagus dan mendapat pengakuan luar negeri. Walaupun harus diakui memang masih ada ada konflik. Tetapi tidak sampai seperti di Libanon, Irak, Somalia, Iran, bahkan di Pakistan. Di Pakistan misalnya itu murni politik. Di Indonesia ada, tetapi tidak sampai menimbulkan gejolak berarti. Ada konflik Pilkada, tapi tidak sampai sekeras seperti di Pakistan.

Ending dari ICIS III ini seperti apa?

Setelah merumuskan anatomi konflik di dunia Islam, diharapkan ada konsep alternatif yang akan dihasilkan dari forum ICIS dan bentuk The Jakarta Message. Insya Allah, hari terakhir ICIS III ada pembahasan tentang The Jakarta Message—Pesan Jakarta tentang penyelesaikan konflik. Termasuk nanti plan of action yang lebih aplicable, terutama dilakukan oleh ulama-ulama di negara Muslim.

The Jakarta Message itu apa disampaikan ke negara atau masyarakat Islam secara umum?

Semuanya. Pesannya diharapkan bisa sampai ke semua elemen, termasuk negara dan organisasi internasional. Tetapi core-nya tetap civil society dan ulama serta Ormas Islam.