Wawancara

Secara Kuantitas, Pendidikan NU Tidak Ada Tandingannya

Jumat, 11 Agustus 2017 | 00:00 WIB

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang bergerak dalam berbagai bidang seperti keagamaan, sosial, seni budaya, ekonomi, dan pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, NU giat dalam menggalakkan pendidikan tingkat perguruan tinggi. Hal itu terbukti dengan berdirinya 31 universitas Nahdlatul Ulama yang berdiri dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun terakhir. 

Selain itu, tentu masih ada banyak lagi kampus-kampus yang berafiliasi dengan NU atau didirikan oleh kader-kader NU, tapi tidak terdaftar pada struktural NU. Jumlahnya ratusan. Mulai dari sekolah tinggi hingga universitas.  

Pada tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyyah sampai Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah, satuan pendidikan yang bernaung di bawah Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU adalah sekitar 48 ribu. Sedangkan untuk pondok pesantren, ada sekitar 23 ribu pesantren yang tergabung di dalam Asosiasi Pesantren NU atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI NU).

Muktamar ke-30 tahun 1999 yang diselenggarakan di Lirboyo Kediri bisa dibilang sebagai momentum penting dalam sejarah pengembangan pendidikan NU. Pada Muktamar ini, NU menegaskan untuk serius dalam memperkuat tata kelola pendidikannya. Lalu, tahun 2001 LP Ma’arif NU menggelar Rakernas. Di antara hasil Rakernas adalah membagi satuan pendidikan dalam tiga kategori sekolah atau madrasah, yaitu: Pertama, satuan pendidikan yang didirikan oleh LP Ma'arif.

Kedua, satuan pendidikan yang didirikan oleh jamaah atau lembaga lain di lingkungan NU bekerja sama dengan LP Ma'arif. Terakhir, yang didirikan dan dikelola secara mandiri oleh jamaah atau lembaga lain di lingkungan NU.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah Bagaimana pendidikan NU bisa berkembang begitu pesatnya? Apa yang menyebabkannya? dan Apakah kuantitas yang begitu meruah dibarengi dengan kualitas yang memadahi? 

Untuk menjawab itu, Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat mewawancarai Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Masduki Baidlowi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Komisi X DPR RI (Bidang Pendidikan) dan juga Ketua LP Ma’arif PBNU. Berikut hasil wawancaranya:

Seperti apa pendidikan NU saat ini?

Secara kuantitas, saya kira pendidikan NU tidak ada tandingannya. NU adalah ormas yang memiliki lembaga pendidikan terbesar di Indonesia. Sampai sekarang pendidikan NU terus berkembang.

Faktor apa yang menyebabkan pendidikan NU begitu meruah?

Pendidikan NU bisa eksis dan bertahan bahkan semakin banyak karena mentalitas kader-kader NU di bidang pendidikan sangat kuat. Itu didasari oleh etos kerja mereka yang tumbuh dari ajaran agama.

Salah atu ajaran agama yang menjadi pegangan kader-kader NU dalam bidang pendidikan adalah bahwa menyelenggarakan pendidikan itu tanda dari ilmu yang bermanfaat. Di dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah salah satu bekal amal ibadah yang pahalanya tidak putus-putus meski sudah meninggal. 

Dari ajaran agama itu, etos ini menjadi nilai yang hidup dan mengakar kuat di dalam diri Nahdliyin. Sehingga kalau kita tanya berapa jumlah sekolah, berapa jumlah madrasah, lembaga formal, informal, atau pun nonformal, pasti yang terbanyak orang NU.
 
Orientasi pendidikan NU itu seperti apa?

Ilmu pendidikan zaman modern selalu mengaitkan bahwa output dari orang yang belajar adalah akses kerja. Pada dasarnya pendidikan itu ada input, proses, dan output. Di dalam standar pendidikan nasional, ada delapan output. Ouput adalah salah satu standar kompetensi kelulusan. Kalau ada mahasiswa S1 di bidang musik, dia bisa apa dan bekerja dimana.

Kalau dulu tidak ada urusan yang seperti itu karena yang namanya bekerja itu adalah akibat dari proses hidup. Mereka bebas untuk hidup seperti apa, namun yang terpenting adalah mereka bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Sehingga orientasi pendidikan pada zaman itu betul-betul berorientasi pada proses. 

Kalau disebut-sebut bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia atau pendidikan karakter yaitu sebenarnya pendidikan NU. Pendidikan karakter orientasinya adalah pada keteladanan guru. 

Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu ada delapan. Yang 3 tidak terkait dengan guru, yaitu standar pendanaan, manajemen, dan sarana-prasarana. Sedangkan yang 5 selalu berkaitan dengan guru. Oleh karena itu, guru itu betul-betul merupakan kunci perubahan.

Model pendidikan NU?

Model pendidikan NU itu adalah model pendidikan yang sangat bagus. Dalam artian, saat kita mendidik orang itu jangan terlalu disibukkan outpunya tetapi lebih menyibukkan dengan bagaimana proses dari pendidikan itu, yaitu bagaimana memanusiakan manusia.

Tujuannya?

Ilmu yang bermanfaat adalah merupakan salah satu tujuan daripada pendidikan yang ada di NU. Minimal bermanfaat untuk diri sendiri, baru kemudian bermanfaat untuk orang lain. Makanya pendidikan di NU tidak pernah memikirkan tentang seperti apa sekolahnya akan dibangun.

Misalnya seperti pesantren-pesantren besar NU yang ada saat ini itu tidak pernah memikirkan bagaimana membangun gedung, tetapi bagaimana seorang guru -yang punya pengaruh besar di dalam proses pendidika itu- tumbuh sebagai guru laku dan guru yang memberikan keteladanan.

Oleh karena itu, jumlah pendidikan NU sangat banyak karena dua hal. Pertama, memegang teguh nilai ilmu yang bermanfaat dan yang kedua adalah berorientasi kepada proses penciptaan pendidikan karakter.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa kalau lahir dan sekolah di NU tidak akan ada yang menjadi teroris. Karena proses pendidikannya itu sangat menentukan bagaimana antara ilmu agama dihubungkan dengan adat istiadat setempat sebagai infrastruktur agama. 

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaiaman kalau konsep itu dihadapkan dengan orientasi pendidikan saat itu yaitu akses kerja?

Kalau pola ini diterapkan sekarang, maka dianggap kurang berkualitas karena tidak pernah berfikir pada pasca proses. Pendidikan sekarang selalu dikaitkan dengan dunia kerja yang polanya terus berkembang sesuai dengan modernitas dan industri sehingga keahlian juga semakin tumbuh dan berkembang.

Pendidikan keahlian-keahlian itu yang harus disiapkan oleh sekolah. Sehingga ukuran pendidikan disebut berkualitas atau tidak itu selalu dihubungkan dengan akses kerja. Kalau anda sudah terdidik di sebuah sekolah dan kemudian lulus, anda bisa apa dan diterima dimana. Itu pola pendidikan saat ini. 

Lalu, bagaimana menghadapi itu?

Karena sekarang harus berurusan dengan kualitas atau mutu dan pendidikan dihubungkan dengan kerja maka mau tidak mau NU juga harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dan harus diakui bahwa dalam konteks ini NU agak tertinggal. 

Jadi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tujuan pendidikan, NU itu agak lambat dalam arti bahwa NU masih tetap saja berorientasi kepada dua hal dia atas, yaitu ilmu yang bermanfaat dan proses. 

Bagaimana memperbaikinya?

Harus segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak juga lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau madrasah NU, lembaga-lembaga pendidikan pesantren NU yang sudah melakukan penyesuaian-penyesuaian. Tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa belum sepenuhnya bisa karena begitu banyaknya jumlah lembaga pendidikan NU. 

Terus, bagaimana caranya melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut dan harus dimulai dari mana?

Pertama kita bicara peran negara. Ada empat tujuan daripada didirikannya negara ini, diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah tujuan utama dari bernegara dan ini kaitannya dengan pendidikan. Mencerdaskan itu bukan hanya pada aspek kognitif saja, kecerdasan itu kan mencerdaskan kehidupan. Artinya, implementasi dari ilmu pendidikan itu melahirkan kemudahan-kemudahan dan produktivitas-produktivitas dimana anak bangsa bisa dengan mudah menciptakan kesejahteraannya. 

Itu adalah kebijakan negara menciptakan kebijakan-kebijakan. Derivasi dari tujuan bernegara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dirumuskan di dalam UUD 1945. Ada banyak pasal-pasal yang menjelaskan mengenai bagaimana cerdas dalam kehidupan. Intinya adalah pendidikan itu merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang harus disiapkan oleh negara.

Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan dan tidak boleh ada diskriminasi. Diskriminasi itu masih terjadi dimana-mana. Misalnya, sarana antara madrasah dan sekolah negeri beda, perlakuan di Papua dan di Jawa beda. Ini tidak boleh terjadi. 

Kedua kita bicara internal. NU juga harus memperbaiki manajemen yang ada dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru yang mengajar di sekolah-sekolah NU.