Wawancara

TALK SHOW "ISLAM DAMAI"

Ahad, 9 Juli 2006 | 05:02 WIB

Jakarta, 21 Juni 2006

Moderator: Dr. Amany Lubis, MA (Dosen Universitas Islam Negeri/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta);
Narasumber I: Ayatullah Muhammad Ali At-Taskhiri (Sekjend Forum Internasional At-Taqrib Bainal Madzahib Al-Islamiyyah / Penasehat Presiden Iran, Republik Islam Iran);
Narasumber II: Prof. Dr. Ahmad Omar Hasyim (Rektor Universitas Al-Azhar, Mesir Periode 1995-2003);
Narasumber III: Syeikh Salim Alwan (Ketua Umum Darul Fatwa, Australia);
Narasumber IV: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA (Ketua PBNU/Indonesia).

<> Dr. Amany Lubis, MA:

Selamat Datang di arena Dialog Interaktif (Talk Show) Budaya, yang mengambil tema: “Islam Damai”. Juga selamat datang di acara International Conference of Islamic Sholars ke-II yang diselenggarakan di Jakarta (Borobudur Hotel), 20-22 Juli 2006. Tentunya, anda semua ini bisa dikategorisasikan sebagai tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh dalam wacana ke-Islaman kontemporer dalam acara ini. Tema kita adalah Islam Damai. Pertama-tama, kami ingin menanyakan kepada Yang terhormat Ayatullah Muhammad Ali At-Tashkiri, tokoh Islam dari Republik Islam Iran (salah satu dari 12 Penasehat Resmi Presiden Iran). Bagaimana Islam Damai yang terjadi di Iran, yakni bagaimana kita menjaga Islam dan Perdamaian sekaligus? Apakah perdamaian itu mesti memerlukan perangkat kekuatan?

Ayatullah Muhammad Ali At-Taskhiri:

Pertama-tama saya sampaikan rasa hormat kepada Ibu moderator, juga kepada semua pemirsa yang budiman. Secara sederhana saya katakana, bahwa kami di Iran, sangat berharap, semangat perdamaian ini kian merambah ke Dunia Islam. Cara pandang kita hendaknya mengambil dari ajaran-ajaran Islam, dari teks-teks ke-Islaman.

Jika Islam sebagai Agama Damai, Agama Keadilan, maka agama ini memiliki hubungan yang berimbang diantara umat-umat manusia. Jika keberpihakan kedamaian diambil dari dasar-dasar Islam, dari Al-Qur’an, maka cara pandang kami di Iran adalah cara pandang ke-Islaman. Bila umat Islam memiliki cara pandang yang sama dengan kami sebagaimana di Iran, yaitu suatu cara pandang yang mengafirmasi Perdamaian Dunia, maka kami yakin umat Islam memiliki kewajiban menjadi saksi atas peradaban-peradaban lain sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Dan demikian, kami jadikan kalian semua sebagai umat yang tengah, agar kalian menjadi saksi atas umat-umat lain. Dan Rasulullah menjadi saksi atas diri kalian semua”.

Rasulullah adalah saksi hidup yang dapat dijadikan panutan atas umat ini. Atas panutan inilah, umat Islam mengambil perananya sebagai saksi-saksi peradaban atas umat-umat lainnya. Mestinya umat Islam seperti ini. Seharusnya umat Islam memiliki cara pandang (visi dan strategi) yang kuat dan maju dalam persoalan politik, intelektualitas, serta bidang-bidang ekonomi, pendidikan, serta etika, sehingga memiliki unsur kekuatan ganda yang dapat dijadikan panutan umat-umat lain. Kami di Iran melakukan semua ini agar bangsa kami terlepas dari gurita masa-masa sulit, dari keterbelakangan berkepanjangan. Kami meyakini, bahwa rezim Syah (kerajaan) Iran yang sudah berlangsung semenjak 200 hingga 500 tahun lalu itu telah mampu mengaktualisasikan dan menemukan kekuatannya.

Oleh karenanya, tidak mungkin seorang muslim menemukan identitas aslinya, kecuali kembali kepada fakta ini. Bahwa kita harus memupuk kekuatan diri kita agar keluar dari krisis keterbelakangan; krisis pengetahuan, ekonomi, social-masyarakat, dll. Untuk itu, kami masyarakat Iran mengajak umat Islam dunia untuk mempososikan diri sebagai umat Islam yang berada di garis tengah (ummatan wasathan). Kami melakukan semuanya ini, agar lepas dari krisis pengetahuan, sehingga di kemudian hari, generasi kami mampu membuka diri dengan peran dan fungsinya mengembangkan aktifitas nuklir (untuk tujuan damai). Dan ini adalah fakta-fakta model kemajuan. Tetapi—dalam hal ini—Barat selalu memperlakukan kami dengan nenerapkan Standar Ganda. Meski demikian, kami selalu memberikan argumentatif ilmiyah. Selanjutnya, kami tidak diberikan peluang untuk memberdayakan hak-hak kami. Meski dalam Traktat Perjanjian Kenegaraan, setiap bangsa diberikan hak otonom untuk mengembangkan pengetahuan teknologi nuklir sepanjang untuk kepentingan damai.

Namun, pada kenyataannya, mereka selalu menghalang-halangi kami. Kami katakan kepada mereka: “Kesinilah, periksalah kami.” Mereka katakan pada kami: “Kalian mengembangan teknologi nuklir ini hanya untuk misi-misi pengembangan persenjataan (pemusnah massal).” Saya kataka