Itu jalan paling waras sebelum awal Oktober, setelah kenyataannya dia cuma bisa menggondol uang dua ratus lima puluh ribu rupiah dari kampungnya. Uang itu didapat sudah habis-habisan, jual ini jual itu. Pinjam sana pinjam sini. Sementara dia harus membayar tujuh ratus lima belas ribu rupiah. Berarti tinggal lima ratus ribu lagi. Dari mana uang sebanyak itu selain pinjam. Mau minta bantuan ke pamannya yang tinggal di Tangerang? Ah, tak mungkin. Dia kapok ke sana. Saudara-saudara dan sepupunya pun jarang ke sana. Mereka gentar sama isterinya. Ogah dikasih muka masam. Mau pinjam ke pamannnya yang di Condet? Ah, dia bukannya tak mau membantu, tapi apa mau dikata.
Dulu, katanya SPP tidak pernah naik di kampusnya karena selalu diganjal oleh demo mahasiswa yang lumayan radikal, revolusioner sisa-sisa ruh angkatan 98 masih ngendon. Tapi itu dulu, kini angkatannya menjadi lambang ketertundukan. Mereka tak peduli sama masalah-masalah seperti itu. Mereka telah ditertibkan, dinormalisasikan untuk kemudian ditundukkan. Dan inilah yang diinginkan oleh birokrasi kampus.
Sambil tengkurap, dia membayangkan saat ayahnya meminjam uang sambil menekurkan muka, tapi dia cuma mendapatkan jawaban seperti ini,
“Sudah kuduga sebelumnya,” kata Mbah Karta sambil mengisap rokok kretek Djarum Coklat. “Kalau tak punya duit kenapa berani-berani menguliahkan anak? Pak Oding saja yang punya penggilingan padi dan luas sawahnya kelabakan nguliahin si Ruslan. Aplagi kamu. Jangan mimpilah. Hidup ini harus realistis!”
“Saya tak perlu penjelasan yang panjang lebar tentang itu, tapi sekarang bisa tidak pinjam uang buat menambah uang semesteran si Jalu?”
“Duitnya sudah digondol sama si bungsu buat masuk sekolah favorit di kota.”
“Jadi, tak bisa?”
“Ya.”
Ada kemirisan yang melunyah-lunyah saat dia mendengar cerita ayahnya. Cerita itu begitu menohok rabunya, menampar mukanya. Dadanya terasa sesak. Darahnya seperti ada yang mengaduk-aduk. Isi kepalanya seperti ada yang menekan-nekan. Benaknya pengap penuh sesak. Wajah ayahnya, ibunya, Mbah Karta, melintas-lintas. Dia telah mengorbankan perasaan ayahnya, menjual harga diri ibunya. Dia ingin rasanya hengkang ambil langkah seribu dari dunia perkuliahan yang membikinnya sakit hati. Jadi sarjana pun tak ada jaminan. Sarjana banyak yang nganggur. Dia harus berdesak-desakkan dengan mereka menambah pengangguran. Tapi niatnya itu ditolak mentah-mentah sama ibunya.
“Sudah kepalang tanggung Jalu, satu petak kebun telah melayang. Sawah sudah digadaikan. Kamu kan sekarang sudah semester lima. Berarti kamu tinggal beberapa semester lagi. Sebentar lagi kamu jadi sarjana. Kalau jadi sarjana, nanti mudah cari kerja. Kalau putus di tengah jalan, pasti tetangga kita tak kurang soraknya.”
Terasa mual dia mendengar kata ‘sarjana’ yang diucapkan ibunya. Entah kenapa kata itu seperti telah terpencil jauh-jauh di benak kepalanya. Kenapa juga urusan kuliah dihubung-hubungkan dengan masalah kerja. Apalagi jurusan yang digelutinya tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia kerja. Tapi dia menyadari logika ibunya mungkin seperti itu. Dia jadi merasa bersalah kenapa dulu memaksakan diri ingin kuliah. Dia merasa bersalah sampai saat ini masih belum mampu membiayai kuliah sendiri. Dia hanya mengisap keringat ayahnya sampai sebesar ini seperti kapitalis menghisap buruh tak henti-hentinya.
Memang kuliah hanyalah untuk kelas sosial tertentu. Dari dulunya memang begitu, ditentukan oleh status sosial. Pada masa-masa kolonial hanyalah anak-anak bangsawan dan juragan-juragan yang bisa sekolah. Ironisnya itu tak jauh berbeda dengan sekarang. Orang yang bisa mengenyam bangku perguruan tinggi senantiasa didukung oleh status sosial tertentu. Orang miskin harus (di)singkir(kan). Dia harus tetap saja jadi subordinat. Subaltern. Orang miskin hanyalah diatasnamakan oleh wakil-wakilnya di parlemen, didefinisikan, diarahkan untuk kemudian ditundukkan oleh struktur yang sulit dilintasi. Jika hidup itu berputar kadang di atas kadang di bawah, jangan katakan padanya! Katakan saja pada orang lain. Putaran-putaran itu tak berlaku baginya.
Akhirnya dapat juga dia mengmpulkan uang sehingga genap tujuh ratus lima belas ribu rupiah. Sebenarnya dia mau menunda pembayaran, tapi birokrasinya rumit luar biasa. Disuruh menemui pak ini kemudian disuruh menemui bu itu. Disuruh membikin pernyataan ini, bikin surat itu. Menunggu lama pak anu yang sedang asyik ngobrol dengan tamunya, tamu penting, kemudian disuruh menemui bu anu. Lempar sana lempar sini yang akhirnya pak Pudek bilang,
“Sekarang sudah tidak ada lagi kebijakan penundaan pembayaran. Usahakan dululah sampai akhir pembayaran. Paling juga ada emergency pada hari terakhir pembayaran. Kamu harus menemui Pak Purek.”
“Jadi tak bisa, Pak?” tanyanya seolah tak percaya atas apa yang didengarnya.
“Bukan tak bisa. Tapi usahakan dululah sebelum akhir pembayaran. Masih ada empat hari lagi.”
Dia pergi meninggalkan Pak Pudek yang super sibuk yang sulit ditemui itu. Dia merasa kasihan juga padanya yang selalu padat jadwalnya. Dia mungkin tamu yang tiada arti baginya. Dia berjalan menuruni tangga darurat dengan kaki yang lemas. Dia malas turun lewat lift yang tak terlalu dipentingkannya. Terlalu mewah buatnya. Sekali turun saja mahal biaya operasionalnya. Cuma dia merasa semakin hebat kampusnya semakin rumit birokrasinya. Semakin cantik kampusnya, tapi berbanding terbalik dengan kesejahteraan mahasiswanya. Atau itu mungkin perasaan dia saja sementera teman-temannya tidak. Semoga dia saja yang punya perasaan begitu.
Dari si Acil dia dapat pinjam dua ratus ribu. Itu pun duitnya buat beli komputer. Setelah menceritakan keadaannya dengan panjang lebar sejelas-jelasnya layaknya seorang diplomat negara dunia ketiga mengemis ke IMF, Acil mengabulkan juga.
“Tapi kapan kamu mau bayar, Jal? Sorry, soalnya aku membutuhkan banget itu komputer. Aku malas ngetik di rental mulu. Banyak virus.”
Dia tertegun. Dia tahu bahwa dia tak tahu kapan dia punya uang. Dia tak bisa membayangkan dan memperkirakannya. Dia tak bisa menentukannya. Tapi seolah-olah ada yang menggerakan lidahnya, dia bilang juga.
“Akhir September. Ya, akhir September.” Seperti tak disadarinya kata-kata itu meluncur seperti pesawat tempur tanpa dia bisa mengendalikannya. Tapi dia malu untuk menjilat ludah yang telah dikeluarkannya. Tiba-tiba tubuhnya menggigil seperti Muhammad yang didatangi Jibril di goa Hira. Tapi dia tak punya Khadijah untuk menyelimuti tubuhnya. Dia tak punya Waraqah bin Naufal untuk menerangkan kedatangan Jibril. Tapi dia jelas- jelas tak didatangi Jibril. Tapi dia menggigil….
“Kenapa kamu, Jal?”
Kontan saja pertanyaan itu membuatnya kaget.
“A…akhir September, Cil, akhir September,” untuk kedua kalinya kata-kata yang tak diinginkannya itu meluncur, seperti ada yang menggerakkan lidahnya. Dia tertegun lagi.
“Ya sudah. Aku tunggu akhir September. Aku percaya sama ente.”
Dari si Asep teman sedaerahnya yang bekerja di koperasi, dia dapat pinjaman seratus ribu rupiah. Kalau dalam keadaan mepet begitu, teman yang tak begitu akrab pun didatanginya. Dia mencoba menggali empati temannya. Dia melakukan hal yang sebenarnya dibencinya. Tapi mau apalagi. Dalam keadaan seperti itu, meminjam adalah hal yang paling waras untuk mempertahankan kuliahnya. Soal malu dan harga diri lupakan dulu sebentar. Padahal kalau dipikir-pikir apa yang dicarinya di bangku kuliah. Sama ingin ijazah. Ingin ada potret yang berpakaian toga di ruang tamu rumahnya.
“Aku cuma bisa minjemin seratus ribu,” kata Asep. Soalnya kemarin aku habis beli tetraloginya si Pram.
“Tetraloginya si Pram?” Tanyanya terperengah bercampur gembira karena dia pernah mendengar nama besar buku karya Pram yang tak terbeli itu. Dia terperengah karena karena mahalnya buku karya pulau Buru itu. Dia gembira karena bakatnya sebagai peminjam buku bisa disalurkan. Si Anjung pernah bercerita, kalau sudah baca buku itu, sejarah Indonesia selesai. Dan, kalau baca buku-buku lain terasa hambar. Meski begitu, tetap saja dia tak bisa membayangkannya.
“Tapi sekarang belum bisa dipinjemin,” kata si Asep seperti memahami urat yang tebelit di mukanya sebagai bakat seorang peminjam yang tangguh.
Omongan tu sebenarnya menohok batok kepalanya dan menelanjangi isinya. Tapi dia mengakuinya.
“Akhir September ya, Sep,” katanya. Lagi-lagi kata itu keluar tanpa diinginkannya. Padahal Asep tak menanyakannya. Kata-kata itu keluar begitu saja persis ketika ditanya si Acil. Seperti ada titah yang tak diketahuinya. Kemudian tubuhnya menggigil. Bulu tengkuknya berdiri. Itu di luar pengetahuannya. Yang dia tahu adalah, bahwa dia tidak tahu kapan punya uang.
Dua ratus lima puluh ribu ditambah dua ratus ribu ditambah seratus ribu jumlahnya lima ratus lima puluh ribu. Berarti untuk genap menjadi tujuh ratus lima belas ribu adalah seratus enam puluh lima ribu lagi.
Kemarin dia mendatangi si Luqman. Tapi dia juga sama kalut mikirin SPP.
“Jalu, Jalu, mana gue punya duit. Gue juga semester ini babak belur,” katanya. “Aneh juga ya, kuliah ya kuliah, tapi yang dipusingin SPP. Bukannya mata kuliah. Buku-buku tak terbeli. Kost-an naik terus. Biaya hidup semakin mahal. Apalagi nanti BBM naik ke ubun-ubun. Mampus!”
“Ini jakarta, Bung. Kata orang, ibu kota lebih kejam dari pada ibu tiri.”
“Ah, elu bisa aja.”
“Tapi emang bener kan?”
“Iya sih.”
“Jadi nggak bisa, Man?”
“Entarlah kalau gue udah jadi koruptor. Makanya elu jangan dulu lulus.”
“Sialan!”
Dia terus mendatangi teman-temannya, kenalannya, atau siapa saja yang kira-kira bisa meminjamkan duitnya. Dia bersafari dari kost ke kost seperti pejabat masa orde baru. Mula-mula dia bertanya tentang ini tentang itu, dari hal-hal yang ringan sampai masalah negara, dari pemikiran tokoh hingga demo mahasiswa, kemudian ujung-ujungnya kepada masalah pembayaran dan akhirnya dia sampai pada kata, bisa pinjam uang nggak, buat nambahin SPP? Kontan saja itu membuat yang diajak bicara menjadi meringis seperti disengat tawon. Si Bowo, si Ikin, si Kairin dal lain-lain pernah merasakan sengatan tawon itu. Dia pernah mendatangi kawannya ketika di kampung yang sekarang bekerja di Tanah Abang, tapi dia juga sekarang lagi pahit. Dia pernah mendatangi kawan temannya yang tak begitu akrab, tapi dia mendapatkan jawaban yang tidak mengenakkan. Dia pernah mendatangi kawan dari teman kawannya, tapi mereka juga berhati-hati meminjamkan duit pada orang yang tak begitu akrab. Pedih juga dia rasakan ke sana ke mari cuma mau pinjam uang. Tapi mau apa lagi, ini mungkin jalan yang paling masuk akal.
Tepat pada hari terakhir pembayaran, uang itu bisa genap tujuh ratus lima belas ribu rupiah. Hasil dari pinjaman teman waktu di SMA-nya yang sebenarnya buat pembayaran kost, kurangnya ditambah oleh teman sekamarnya. Tentu saja dengan mengatakan dia akan membayarnya akhir September. Kata-kata yang tak pernah dikehendakinya itu selalu saja muncul. Tubuhnya menggigil. Dia menggadaikan akhir September.
Dadanya terasa lega, napasnya terasa plong, gedung kampusnya yang angkuh itu terlihat lagi, meski dia merasakan mukanya semakin tebal, seperti muka badak mungkin. Persetan dengan muka tebal. Persetan dengan muka badak. Persetan! Yang jelas sekarang adalah, bahwa dia masih bisa mempertahankan kemahasiswaannya. Peduli amat mahasiswa apa. Mahasiswa gotong royong, mahasiswa karbitan, mahasiswa dodol, agent of chang, agent of status quo. Untuk sementara, dia tidak memusingkan pelabelan-pelabelan semacam itu. Yang membuatnya pusing adalah: pembayaran. Yang lain tidak!
Waktu terus menggerogoti tanggal seperti rayap memangsa kayu keropos. Agustus habis, September pun datang. Dan September pun sekarang sudah hampir berakhir. Akhir September! Dia melewati tanggal demi tanggal bulan September dengan menggigil seperti ketika dia meminjam uang dari temannya. Akhir September menagih janji. Kata-kata yang diucapkannya menjadi bumerang. Senjata makan tuan. Dia tak bisa membayangkan uang dari mana. Dia tak bisa membayangkan muka teman-temannya dan kata-katanya. Barang-barangnya sudah dikeluarkan sama ibu kostnya karena masa kontraknya sudah ludes. Ada uang ada kostan, tak ada uang maka enyahlah. Barang-barangnya yang cuma sedikit, dia titipkan di temannya yang lain yang tak sempat dipinjami duitnya. Dia sekarang nomaden seperti di zaman batu.
Sekarang kuliah sudah aktif, tapi dia belum berani memasuki kelas yang merasa bukan haknya. Anak-anak baru begitu cerianya setelah melewati propesa. Mereka menanggalkan pakaian seragamnya yang telah lama mengekangnya. Tapi sekarang mereka mengahadapi penyeragaman bentuk lain, penyeragaman pemikiran dan ideologi. Tapi yang jelas sekarang mereka adalah, m-a-h-a-s-i-s-w-a. Pak dosen sudah membusa di depan kelas. Mahasiswa tekantuk-kantuk di belakang atau menjadi pendengar setia. Tapi ada sedikit pertanyaan dan perdebatan untuk membuktikan bahwa kelas itu sedang ada proses: kuliah.
Teman-temannya yang lain sekarang sibuk diskusi dan membikin makalah di forum studi. Badan Eksekutif Mahasiswa mempersiapkan seminar. Organisasi-organisasi mahasiswa sibuk mempersiapkan aksi menolak kenaikan harga BBM. Sementara tema-temannya yang lain sibuk mengejarnya.
“Mana akhir Septembermu, Jalu???!!!”