Purwakarta, NU Online
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, jika agama diamalkan hanya dalam konteks simbolis, maka yang terjadi adalah pengingkaran ajaran Tuhan. Menurutnya, agama bisa rusak hancur oleh slogan Allahu Akbar, tetapi pada saat yang bersamaan menistakan ajaran agama karena ketidakmampuannya menjawab persoalan konkret di masyarakat.
"Dalam pandangan saya, syariat Islam itu adalah ketika seluruh rakyatnya tidak ada yang menangis karena tidak punya beras. Ketika seluruh rakyatnya dijamin pendidikan, dijamin kesehatannya, dijamin kondisi kelayakan tempat tinggalnya, dimakmurkan jalannya, dan disejahterakan ruhaninya," ujarnya menjawab pertanyaan NU Online (4/2/206) terkait dengan kebijakan-kebijakannya pada awal tahun 2016 yang tergolong menarik perhatian ini.
Bupati Purwakarta belakangan ini seringkali melakukan tindakan-tindakan yang di luar jangkauan kebiasaan Kepala Daerah pada umumnya. Sebut saja aksinya pada awal tahun ini dengan tindakan konkret membereskan waria di Purwakarta dengan cara pemberdayaan sebagai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tak lama kemudian muncul gerakan pengumpulan beras perelek sebagai ketahanan ekonomi warga desa, berlanjut pada tanggal 4 Februari 2016 Dedi Mulyadi mengeksekusi program pemberdayaan "Pak Ogah", orang yang sering meminta-minta uang di perempatan jalan.
Pada lain hal, Bupati Dedi Mulyadi bersama aparat birokrasi Pemkab Purwakarta juga makin giat memberikan layanan tindakan konkret pada masyarakat melalui layanan SMS call center-nya. Saking sibuknya, Bupati Dedi Mulyadi sendiri ikut terjun bekerja melayani langsung warga dengan mendatangi ke rumahnya dan membawakan bantuan beras.
Aksi-aksi Bupati Dedi Mulyadi di atas hanya bagian dari sekian gerakan terkait rakyat kecil yang begitu banyak dilakukan olehnya di Purwakarta. Ia mengatakan kalau kebijakannya tersebut dimaksudkan untuk menjalankan tugasnya sebagai pelayan warga melalui instrumen negara. Di balik semangatnya yang menyala untuk melayani rakyatnya, Bupati Dedi Mulyadi punya semangat untuk menjadikan Islam sebagai alat perjuangan, bukan alat politik semata. Ia memiliki pandangan bahwa Islam adalah ajaran yang mengedepankan rasa kemanusiaan, mengajarkan rahmat atau penyebaran cinta-kasih, dan Islam menjauhi sikap menghardik, Islam yang menjauhi sikap kebencian.
"Nabi mengajarkan tentang bagaimana mencintai anak yatim, mencintai fakir-miskin, kaum dluafa, mengajari hormat saling menghormati, saling silih asah, silih asuh, silih asih, dan itu yang kami amalkan melalui tugas kami sebagai abdi rakyat. Saya percaya, jika kerja-kerja pengabdian seperti itu dijalankan, maka akan menjadi orientasi pengabdian terbaik kepada Tuhan karena kerja-keras yang kita lakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan keadilan," terang Dedi Mulyadi.
Dari materi ke ruhani
Dedi Mulyadi juga menceritakan kalau selama ini kebijakan-kebijakan di Purwakarta sudah masuk meningkat pada tahap yang lebih maju dalam mengurus dimensi ruhani atau spiritual kemanusiaan karena pada kepemimpinan periode pertama (2008-2013) dirinya menjadi bupati orientasi kebijakannya kebanyakan terkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur. Setelah memenuhi harapan rakyat pada urusan fisik, sekarang pada periode keduanya (2013-2018) ia akan konsentrasikan pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Semua hal tersebut ia maksudkan sebagai pelaksanaan semangat bernegara untuk "membangun jiwanya, bangunlah badannya."
"Harusnya sih dulu yang dibangun jiwanya, mindset-nya, kualitas spiritualnya, tetapi masyarakat kita sudah terjebak pada pragmatisme sehingga yang diinginkan kebanyakan pembangunan fisik. Saya penuhi tanpa harus terbawa arus. Nah, sekarang setelah saya penuhi itu semua, maka saya gerakkan pembangunan kualitas sumberdaya manusia," terangnya.
Dedi Mulyadi dalam mengawal gerakan pembangunan sumberdaya manusia itu selain memakai model pendekatan melalui gerakan seni-budaya, juga melakukan pemberdayaan melalui pelatihan-pelatihan, pelatihan peningkatan kapasitas, dan salah satunya yang fenomenal adalah menggerakkan "Sekolah Ideologi Kebangsaan Pancasila" yang mulai dijalankan awal tahun 2016 di kalangan siswa-siswi pelajar SMA dan masyarakat. (Azami/Mukafi Niam)