Ketua Ma’arif NU Kalbar: Agama Pengaruhi Sikap Umat terhadap Lingkungan
Senin, 19 Desember 2022 | 20:00 WIB
Ketua Ma’arif NU Kalbar Prof Zainuddin Hudi Prasojo saasaat menyampaikan orasi ilmiah dalam acara pengukuhan guru besar di IAIN Pontianak, Senin (19/12/2022). (Foto: Dok Humas IAIN Pontianak)
Pontianak, NU Online
Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kalimantan Barat, Prof Zainuddin Hudi Prasojo, mengatakan bahwa agama dan kepercayaan mampu mempengaruhi sikap kehidupan terhadap krisis lingkungan. Hal tersebut didasarkan pada sebuah studi kasus masyarakat Adat Dayak Tae di Kabupaten Sanggau, Kalbar yang ia teliti.
“Ternyata etnisitas dan agama menjadi salah satu unsur penting dalam keputusan-keputusan pengelolaan hutan dan lingkungan pada masyarakat Dayak Tae ini,” ungkapnya saat menyampaikan orasi ilmiah dalam acara pengukuhan guru besar di IAIN Pontianak, Senin (19/12/2022).
Prof Zae, demikian ia akrab disapa, mengatakan bahwa sebagian orang Melayu di Kalbar merupakan orang Dayak yang masuk Islam. Hal ini terjadi sejak lama sepanjang sejarah keberadaan Suku Dayak dan Suku Melayu sebagai penduduk lokal yang berinteraksi dengan suku-suku pendatang. Misalnya Arab, Bugis, dan Tionghoa termasuk dalam fenomena kawin campur dengan suku-suku pendatang tersebut.
“Masyarakat Dayak Tae menunjukkan bahwa pola internalisasi nilai budaya dan kepercayaan yang mereka lakukan dalam konteks merespons ancaman hutan dan lingkungan telah mengkonfirmasi tentang asal-usul mereka yang bersaudara. Ini berdasarkan tradisi antara praktik tradisi dan kebudayaan Dayak Tae dengan masyarakat Melayu di wilayah Kesultanan Tayan,” ungkapnya.
Prof Zae mengungkapkan bahwa globalisasi, industrialisasi, dan persaingan ekonomi telah memicu maraknya kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kerusakan sumber daya alam seperti illegal logging (pembalakan liar) dan pertambangan emas tanpa izin (PETI), serta kebakaran hutan yang berakibat pada kerusakan lingkungan.
“Hal itu sangat berpengaruh langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat lokal seperti Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat yang sejak dulu menjadikan alam sebagai sumber kehidupan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, adat dan kepercayaan yang masih dipraktikkan masyarakat lokal yang memeluk agama besar dunia ini menjadi penting, karena dapat menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan. Hasil penelitian tentang masyarakat lokal dan kehidupan beragama akan memberi perspektif baru dalam melihat masalah peran masyarakat adat dalam pengelolalaan hutan pasca-Orde Baru yang dahulu menggantikan pengelolaan hutan dari adat kepada peraturan perusahaan pemerintah pusat.
Isu lingkungan
Dalam orasinya, Prof Zae menjelaskan bahwa manusia dan alam mempunyai hubungan erat satu sama lain. Kehidupan alam sehari-hari dipahami sebagai satu realitas yang menyangkut kondisi kehidupan baik manusia maupun bukan manusia.
”Di bawah kaki Gunung Kujau di Kabupaten Sintang, Kalbar, hutan-hutan hijau dan lebat itu menjadi kenangan indah. Kampung-kampung di sana kini penuh dengan kebun karet unggul yang menjadi komoditas unggulan masyarakat setempat,” ujarnya.
Menurut dia, kebun-kebun karet itu ditanami oleh masyarakat setelah mereka mulai kehabisan lahan untuk tambang emas. Hasil tembang emas saat itu menurun drastis walaupun mereka sudah merambah sampai ke kebun adat yang seharusnya tidak boleh diganggu gugat.
“Masyarakat di sekitar sini mengubah haluan mata pencahariannya dari menambang emas di hutan-hutan sekitar Gunung Kujau, Gunung Saran, dan Gunung Ringgas ke menanam kebun karet unggul,” ungkapnya.
Prof Zae mengatakan bahwa isu lingkungan yang terjadi pada masyarakat Dayak Tae menjadi urgen untuk diperhatikan sebagai inspirasi. Karena betapa alam telah mengajarkan kehidupan pada mereka.
“Masyarakat Dayak Tae menganggap alam sebagai ibu mereka yang mesti disayangi sepenuh hati. Pelaksanaan adat dan fungsi lembaga adat pada masyarakat lokal menjadi sebuah keniscayaan yang perlu disadari juga oleh masyarakat global,” ujarnya.
Menurut Prof Zae, kesadaran bersama dari masyakakat lokal dan global ini menjadi modal teologi green world. Bumi sehat selayaknya dihasilkan oleh masyarakat yang sehat yang memiliki teologi yang sehat pula.
”Jika masyarakat lokal yang juga telah tersentuh modernisasi mampu melihat ke belakang dan merenungkan betapa alam telah mengajari kehidupan bagi mereka, maka sejatinya masyakat modern dapat menjadi pelopor dalam merawat bumi untuk menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi seluruh penghuninya,” tutup Prof Zae.
Kontributor: Siti Maulida
Editor: Musthofa Asrori