Menjejak Makam Bersejarah Syekh Abdul Rosyid, Tokoh Babad Alas Islam di Bogor
Kamis, 6 November 2025 | 13:30 WIB
Gerbang masuk makam Syekh Abdul Rosyid di kampung Gerendong, Desa Putat Nutug, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ahad (2/11/2025). (Foto: NU Online/Patoni)
Bogor, NU Online
Syekh Abdul Rosyid tidak banyak dikenal karena minim catatan dan dokumen historis tentang dirinya. Namun, makamnya di Kampung Gerendong, Desa Putat Nutug, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang banyak diziarahi masyarakat cukup menunjukkan bahwa dirinya salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di wilayah Pakuan Bogor.
Menurut Juru Kunci makam, Muhammad Rukyat, Syekh Abdul Rosyid merupakan tokoh ulama yang diutus Sunan Gunung Jati untuk mendakwahkan Islam di wilayah Pakuan Bogor yang saat itu masih kental dengan keyakinan Hindu lama sebagai agama Kerajaan Pajajaran yang dipimpin Prabu Siliwangi.
Kepada NU Online pada Ahad (2/11/2025) di lokasi makam, Rukyat bercerita bahwa tidak ada manaqib maupun dokumen bersejarah yang tentang sosok Syekh Abdul Rosyid. Keluarga dan orang-orang terdekatnya pun memilih untuk tidak menceritakan tentang sosok beliau sehingga sampai saat ini para peziarah agak kesusahan mengetahui profil lengkap, sanad, karya, dan kiprahnya.
“Enggak kecerita,” kata Rukyat untuk menjelaskan bahwa sosok Syekh Abdul Rosyid tidak banyak sumber yang menjelaskan selain hanya dari sumber lisan. Itu juga masih sangat terbatas.
Menurut cerita Rukyat yang sudah menjadi juru kunci selama 16 tahun, Syekh Abdul Rosyid dipandang sebagai keturunan ulama dari wilayah Arab. Ayahnya bernama Syekh Maulana Akbar. Dia juga menjelaskan bahwa adik atau anggota keluarga dekatnya bernama Syekh Maulana Arif, dikenal sebagai pengembang dakwah di wilayah Kuningan, Jawa Barat.
Menurut Rukyat, Syekh Abdul Rosyid memiliki garis keturunan yang bersambung hingga ulama besar di Cirebon, dan terkait secara sanad keilmuan dengan tradisi Wali Songo. Meski beberapa versi berbeda muncul dalam sumber lisan, Rukyat menceritakan bahwa Syekh Abdul Rosyid memiliki hubungan erat dengan Sunan Gunung Jati, baik sebagai murid maupun utusan dakwah.
Suasana di Komplek Makam Syekh Abdul Rosyid
Makam Syekh Abdul Rosyid tak tampak megah. Hanya dikelilingi pagar besi dan pepohonan hijau yang menjulang. Rindangnya dedaunan menciptakan keteduhan yang menenangkan batin, membuat para peziarah betah berlama-lama duduk bersila sambil membaca tahlil. Suasananya seolah merangkul setiap orang yang datang dalam hening dan khusyuk.
Di sekitar pusara sang Syekh Abdul Rosyid terdapat makam-makam masyarakat sekitar yang telah wafat dari masa ke masa. Kehadiran makam-makam ini menunjukkan bahwa kompleks tersebut tidak hanya menjadi tempat peristirahatan seorang ulama besar, tetapi juga ruang yang terus merawat tradisi dan ingatan kolektif masyarakat Bogor. Makam-makam tua berderet rapi di sisi kanan dan kiri, menandai perjalanan panjang generasi demi generasi.
Lebih jauh ke dalam, tampak beberapa nisan tua dari masa kerajaan yang bentuknya masih asli. Nisan-nisan itu berukir halus, sebagian mulai aus dimakan waktu. Rukyat menjelaskan bahwa makam-makam kuno tidak terjelaskan identitasnya. Namun, bisa diketahui jenis kelaminnya dari bentuk batu nisan yang sudah diukir.
“Jika nisannya berbentuk batu ukuran bulat, itu makam laki-laki, jika bentuknya gepeng makam perempuan,” kata Rukyat.
Bagi sebagian peziarah, keberadaan nisan kuno menjadi bukti bahwa Kampung Gerendong yang tak jauh dari Lembah Cisadane dengan derasnya aliran Sungai Cisadane telah menjadi pusat aktivitas masyarakat. Berdasarkan sumber lisan, Rukyat menyebut bahwa kampung ini pernah menjadi titik pertemuan para tokoh setempat dengan para pendakwah Islam.
Kompleks makam ini dilengkapi bangunan kecil berukir sederhana. Para peziarah biasanya duduk sambil membaca tahlil dan yasin. Menurut Rukyat, makam ini kerap dikunjungi pada malam Jumat dan menjelang bulan Maulid. Banyak peziarah datang untuk mengaji, bershalawat, dan memohon doa agar mendapat berkah sang penyebar Islam di Bogor itu.
“Kadang ada yang datang hanya untuk menenangkan hati. Tempat ini memang memberi rasa damai,” tutur Rukyat sambil melihat pepohonan rindang dan kondisi makam yang cukup terawat demi kenyamanan para peziarah.
Dia menjelaskan bahwa juru kunci yang membantu merawat makam Syekh Abdul Rosyid berjumlah 12 orang. Ada yang sudah sepuh, paruh baya, dan relatif cukup muda. Pemugaran makam, kata Rukyat, dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sekitar hingga saat ini telah memiliki dua buah mushola untuk jamaah laki-laki dan perempuan.
Para peziarah juga tidak perlu khawatir tempat beristirahat. Pengelola telah membangun tempat istirahat yang dapat digunakan pengunjung sebagai ruang tunggu. Di dekat ruang tunggu juga terdapat kantin atau warung sehingga kebutuhan makan ringan, minum, dan kopi mudah didapatkan oleh para peziarah. Komplek makam ini juga didukung halaman dan parkir yang cukup luas serta sejuk karena dipayungi pohon-pohon rindang dan hijau.
Utusan Sunan Gunung Jati
Menurut sejumlah sumber lisan yang diungkap Rukyat, Syekh Abdul Rosyid diyakini merupakan utusan Sunan Gunung Jati. Ia diutus ke wilayah selatan Cirebon untuk menyebarkan ajaran Islam, sekaligus mengokohkan dakwah di daerah yang masih kuat dipengaruhi tradisi lokal saat itu. Perjalanan ini menjadi titik tolak penyebaran Islam di Bogor pada masa awal.
Lahir dari keluarga yang memiliki akar keilmuan agama yang kuat, Syekh Abdul Rosyid memiliki hubungan sanad dan silsilah yang bersambung kepada tokoh-tokoh besar dalam jaringan Wali Songo. Meski detail tertulis tidak semuanya tersimpan dengan baik, sanad keilmuannya berkelindan dengan lingkungan pesantren dan pusat dakwah di Jawa Barat era abad ke-16.
Sosok Syekh Abdul Rosyid dikenal sebagai ulama yang menguasai ilmu agama. Selain itu, ia dikenal memiliki kecakapan berdialog dengan masyarakat adat, sehingga dakwahnya dapat diterima tanpa gesekan yang berarti. Pendekatan budaya yang lembut menjadikan ajaran Islam tumbuh subur melalui tradisi setempat.
Perjuangan dakwah Syekh Abdul Rosyid tidak mudah. Ketika pertama kali datang, wilayah Bogor merupakan tanah yang masih sepi, dihuni komunitas agraris yang memegang teguh sistem kepercayaan lokal. Ia menyapa masyarakat setempat dengan keramahan, membantu mengolah lahan, dan mengajarkan nilai‐nilai Islam dari hal‐hal sederhana, mulai dari cara hidup bersih hingga mendirikan tempat ibadah sederhana.
Lambat laun, masyarakat menerima ajaran yang dibawanya. Mereka tak lagi memandang Islam sebagai ajaran asing, tetapi sebagai jalan hidup yang membimbing pada kedamaian. Dari kampung kecil di Ciseeng, ajaran itu menyebar ke wilayah Bogor lainnya, ditopang murid‐murid yang pernah berguru kepada beliau. Di antara muridnya terdapat para kiai kampung yang kelak menurunkan jaringan ulama di wilayah selatan Bogor.
Di sisi lain, perjuangan dakwah beliau tak jarang diwarnai penolakan. Konon, beberapa kelompok yang menolak ajaran baru berupaya merendahkan langkah dakwahnya. Namun, sikap lembut dan kesabarannya selalu menjadi jalan damai yang menuntun masyarakat mendekat tanpa rasa takut.
“Beliau mengajarkan Islam bukan dengan paksaan, tapi dengan keteladanan. Karena itulah dakwahnya diterima dan meninggalkan jejak yang kuat,” ujar Muhammad Rukyat.
Riwayat wafat Syekh Abdul Rosyid tidak banyak tercatat secara tertulis. Namun diceritakan Rukyat, masyarakat mempercayai bahwa beliau wafat setelah bertahun‐tahun berdakwah, membimbing masyarakat menuju Islam. Jenazahnya kemudian dimakamkan di kampung Gerendong.
Kini, lebih dari sekadar tempat peristirahatan terakhir seorang ulama, makam Syekh Abdul Rosyid menjadi ruang pembelajaran sejarah. Para peziarah datang bukan sekadar menabur bunga dan berdoa, tetapi juga menimba hikmah dari kisah dakwah yang penuh keteladanan. Di bawah keteduhan pepohonan, mereka merasa seperti kembali ke akar—kepada sumber cahaya yang pernah menerangi tanah Bogor.
“Kalau bukan karena para ulama dulu, mungkin kita tidak akan merasakan nikmatnya Islam seperti sekarang,” kata Rukyat menutup kisah.
Kalimatnya menggantung pelan, menyisakan perenungan pada siapa pun yang hadir bahwa dakwah adalah warisan, dan ziarah bukan sekadar ritual, tetapi ikhtiar merawat jejak para pendahulu yang telah berjasa menghadirkan Islam yang ramah bagi sesama.