Pesantren Krapyak Jadi Pelopor Gerakan Peduli Sampah di Yogyakarta dengan Terapkan 3R
Jumat, 17 Oktober 2025 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta menjadi salah satu pesantren yang memelopori gerakan pengelolaan sampah mandiri melalui program Krapyak Peduli Sampah. Inisiatif ini lahir dari keprihatinan atas meningkatnya persoalan sampah di Yogyakarta yang kian mengkhawatirkan.
Direktur Krapyak Peduli Sampah Andika Muhammad Nuur menjelaskan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, produksi sampah harian di kota ini mencapai 300 ton per hari. Sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan di Kabupaten Bantul sudah mengalami kelebihan kapasitas dengan jatah pembuangan hanya 600 ton per bulan.
Melihat kondisi itu, Pesantren Krapyak mengambil langkah konkret dengan membangun sistem pengelolaan sampah internal. Program Krapyak Peduli Sampah resmi berdiri pada 12 Juli 2023 dengan doa dan restu para pengasuh pesantren.
Baca Juga
Mengelola Sampah dengan 3R
“Penumpukan sampah adalah penyakit. Maka dari itu, kami memiliki prinsip Sampah Hari Ini, Selesai Hari Ini. Dari prinsip itu kami mencoba menyelesaikan permasalahan sampah,” ujarnya kepada NU Online pada Jumat (17/10/2025).
Dalam pelaksanaannya, program ini menerapkan sistem reduce, reuse, recycle (3R) dengan melibatkan seluruh santri dalam proses pemilahan, pengumpulan, hingga daur ulang.
“Kami memiliki 20-30 macam pemilahan sampah, di antaranya plastik, botol, kertas, kardus, baju bekas, sandal, dan lainnya. Kami juga mensosialisasikan kepada santri dan ada juga buku panduannya,” jelas Andika.
Ia menambahkan, santri yang disiplin memilah sampah mendapat penghargaan berupa uang, sementara yang tidak disiplin akan mendapat sanksi.
“Hukumannya adalah sampahnya tak kunjung diambil oleh petugas,” katanya.
Selain itu, pesantren juga menerapkan kebijakan pengurangan penggunaan plastik di area kantin. Jika sebelumnya makanan dibungkus plastik, kini diganti dengan piring dan gelas yang dibawa sendiri oleh santri.
“Beli gorengan satu dikasih plastik, ini kan boros (sampah) sekali, beli es pakai plastik. Semenjak memulai program ini semua pakai piring, pakai gelas yang dibawa sendiri. Itu sangat berpengaruh pada volume sampah,” papar Andika.
Upaya serupa juga dilakukan di minimarket pesantren. Produk yang sebelumnya dijual dalam kemasan saset, seperti sampo, kini diganti dengan botolan.
“Botol ini jauh lebih bermanfaat dan mudah diolah,” tambahnya.
Prinsip utama yang dipegang dalam program ini adalah bahwa sampah sejatinya tidak ada, selama dikelola dengan benar.
“Prinsip kami sampah tidak ada. Sampah ada ketika campuran organik dan anorganik. Itu dicampur namanya sampah. Nasi dan kertas dicampur itu sampah. Kalau dipilah semua itu namanya komoditas,” ujar Andika.
Sampah yang telah dipilah kemudian diolah menjadi kompos, biogas, maupun bahan ecobrick. Menurut Andika, program ini juga menjadi ruang kreativitas bagi santri untuk mengelola limbah secara produktif.
“Bahkan program ini menjadi tempat berkreativitas dalam mengelola limbah. Kami mengubah mindset bahwa sampah bukan beban, bukan sampah yang salah, tapi cara kita memperlakukannya yang kurang bijak,” tuturnya.
Lebih lanjut, Andika mengungkapkan bahwa semangat program ini terinspirasi dari pesan KH Ali Maksum, pendiri pesantren sekaligus Rais Aam PBNU masa khidmah 1981–1984, yang terkenal dengan ungkapan, "Nek ra gelem ngresiki, ojo ngregeti (kalau tidak mau membersihkan, jangan mengotori)."
“Nilai itu menjadi semangat bagi santri untuk menumbuhkan budaya cinta kebersihan dan tanggung jawab terhadap isu-isu lingkungan,” ujarnya.