Daerah

Sampah Jadi Sumber Cuan, Krapyak Bangun Ekonomi Sirkular dari Limbah Pesantren

Jumat, 17 Oktober 2025 | 12:00 WIB

Sampah Jadi Sumber Cuan, Krapyak Bangun Ekonomi Sirkular dari Limbah Pesantren

Ketum PBNU Gus Yahya Staquf saat melihat berbagai produk olahan sampah yang menghasilkan cuan di Pesantren Krapyak. (Foto: dok. Krapyak)

Jakarta, NU Online

Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta menunjukkan bahwa sampah bukan sekadar masalah, tetapi juga bisa menjadi sumber daya ekonomi.


Melalui program Krapyak Peduli Sampah, pesantren ini berhasil mengembangkan model ekonomi sirkular yang berbasis pada pengelolaan limbah secara mandiri dan berkelanjutan.


“Meski dimulai dari nol rupiah, program ini berhasil membangun sistem yang mampu menekan timbunan sampah sekaligus menghasilkan nilai tambah bagi pesantren,” ujar Direktur Krapyak Peduli Sampah Andika Muhammad Nuur saat dihubungi NU Online pada Jumat (17/10/2025).


Andhika menjelaskan bahwa sistem ekonomi sirkular yang diterapkan di pesantren dengan mengolah sampah organik menjadi kompos dan biogas, sedangkan anorganik dikelola melalui bank sampah dan daur ulang.


“Hasil pengolahannya tidak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga menghasilkan produk yang memiliki nilai jual, kami memiliki produk pupuk organik, ecobrick, kursi, gantungan kunci, dan olahan kratif lainnya dari plastik dan kertas,” katanya.


Program ini juga menerapkan sistem pertanian terpadu (integrated farming system/IFS) dari hasil pengolahan limbah organik. Limbah diolah menggunakan maggot, yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk menanam sayur serta mendukung pakan pada peternakan ayam dan ikan.


“Sistem ini kami bangun dengan konsep 0 rupiah, jadi seluruh sampah diolah tanpa tambahan biaya yang besar. Sampah itu bisa jadi emas, jika kita merubah mindset kita,” katanya.


Melalui pendekatan ekonomi sirkular ini, Krapyak Peduli Sampah berhasil menciptakan siklus keberlanjutan, mulai dari pengurangan limbah, pengolahan kembali, hingga penjualan hasil daur ulang. Pendapatan dari hasil penjualan sampah anorganik ke pengepul dan pabrik rongsok menjadi tambahan pemasukan bagi pesantren.


“Kita nol rupiah dan bahkan pernah omzet itu per bulan Rp10 juta. Pernah omzet segitu dari menjual rongsok. Dari hasil jual kursi dan kreasi lainnya, kita juga buat thrifting. Ada kaus yang tidak terpakai kita cuci bersih kita jual kembali,” ujarnya.


Ia berharap, program ini dapat membangun kemandirian ekonomi sekaligus kesadaran lingkungan di kalangan santri.


“Santri tidak hanya belajar dan mengaji, tapi juga turut andil dalam memilah dan mengolah sampah, serta memahami nilai ekonomi di balik setiap sampah yang dihasilkan,” ujar Andhika.