Temanggung, NU Online
Dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang jurnalistik dan literasi media, Pengurus Anak Cabang (PAC) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Gemawang, Temanggung, Jawa Tengah didorong menguasai literasi baru untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.
Hal itu terungkap dalam Workshop Literasi dan Jurnalistik, di aula Kecamatan Gemawang, Temanggung, Jumat (2/8). Kegiatan tersebut mengusung tema Menumbuhkan Generasi Qurani dan Mengembangkan Potensi Kader Muda NU dengan Progresif, Kreatif, serta Meningkatkan Daya Berpikir Kritis Menuju Pemudi yang Bersinergi untuk Negeri.
Kegiatan yang diselenggarakan PAC Fatayat NU Gemawang, Temanggung ini menghadirkan pengurus Bidang Diklat dan Litbang Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif NU Jawa Tengah, Hamidulloh Ibda, yang dihadiri puluhan kader dan pengurus.
Dalam pemaparannya, Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Temanggung tersebut mengatakan bahwa literasi merupakan usaha untuk melek aksara melalui kegiatan membaca, menulis, dan menganalisis.
"Literasi selama ini masih sebatas kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, ini merupakan literasi lama. Padahal di era Revolusi Indhstri 4.0 dan Society 5.0, masyarakat harus menguasai literasi baru, yaitu literasi data, teknologi, dan literasi manusia," kata penulis buku Konsep dan Aplikasi Literasi Baru tersebut.
Dalam kesempatan itu, pengurus Bidang Literasi Media Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jateng tersebut memaparkan pentingnya keterlibatan Fatayat NU dalam mencerdaskan anak-anak agar tidak terkena hoaks, pornografi dan radikalisme yang disebar melalui media siber saat ini.
"Keterlibatan Fatayat NU sebagai ibu, atau calon ibu dalam mengawal anak-anak sangat penting. Maka selain lewat pembelajaran, tradisi literasi harus dihidupkan lewat pembiasaan dan keteladanan,” jelasnya.
Lebih jauh dijelaskan bahwa mengonsumsi informasi atau berita lewat gawai penting. “Namun anak-anak harus diarahkan, didampingi, karena pengetahuan atau informasi cepat saji di media lebih banyak mengandung virus," kata Pimred Majalah Ma'arif Jateng tersebut.
Maka wajar, kata dia, di era post truth seperti saat ini, guru atau kiai yang menjadi sanad harus diutamakan daripada belajar atau ngaji dengan Google.
"Belajar dengan ulama, kiai, jelas ada sanad keilmuwannya. Tapi ngaji dengan Google, tidak jelas sanadnya. Maka kiai dan ulama tetap rujukan utama dalam mendapatkan ilmu agama,” tegasnya.
Menurutnya, jika ingin pandai ilmu agama yang harus dilakukan adalah mondok di pesantren, belajar ilmu fikih, nahwu, sorof, balaghah dan lainnya.
“Bukan otodidak belajar di internet," kata alumnus Ponpes Mambaul Huda Kembang, Pati tersebut.
Kalau sekadar untuk mencari berita, atau data, lanjut Ibda, sah-sah saja tidak ada yang melarang. "Tapi kalau menjadikan internet sebagai rujukan utama itu namanya makan mie instan. Jika belum makan nasi, ya nanti perut akan sakit karena internet itu sekunder bukan primer," beber penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.
Usai pemaparan materi, peserta sebanyak 126 tersebut diajak praktik menulis berita dan langsung dikirim ke media massa.
Rencana tindak lanjut dari kegiatan itu, semua pengurus Fatayat NU di tingkat ranting dan PAC diwajibkan menulis kegiatan dalam bentuk berita. Peserta kegiatan ini selain dari Fatayat NU, juga dari IPNU-IPPNU se-Kecamatan Gemawang, Temanggung. (Heri/Ibnu Nawawi)