Sinar mentari pagi 1963, belum jatuh di bumi Jakarta. KH Muhamad Na‘im sudah memegang sapu lidi. Membersihkan halaman rumah, sudah menjadi kebiasaannya. Selain kebersihan rumah, pagi hari menjadi saat yang baik untuk menghirup udara segar.
<>
Guguran daun yang tanggal dari dahan sebentar kemudian tersudut di pekarangan rumahnya di bilangan Cipete. Beberapa daun terlihat masih segar. Ada juga yang telah menguning tua. Sementara sebagian lembaran dari daun yang tampak menggunung, setengah lembab berselimut embun dan membusuk.
“Far, kemari dah lu. Gua mau ngomong,” kata Guru Mad Na‘im, sebutan lumrah Guru Muhamad Na‘im Cipete dari balik pagar kepada Jakfar, seorang santrinya.
“Aya guru. Ada apa yah?” jawab Jakfar mencoba menghentikan sepedanya di depan pekarangan rumah Guru Mad Na‘im.
“Lah, lu lagi mau kemana nih?” tanya Guru Mad Na‘im meninggalkan tumpukkan sampah daun di sudut pekarangan yang baru saja dikumpulkan.
“Aya mau ke Pasar Baru guru,” sahut Jakfar.
“Kebeneran dah, carikan gua kerai bangbu. Lu lihat latar gua belah sonoh? Temboknya cuma sedengkul. Kalau siang tengah hari bengkak, panasnya bukan main. Kerainya kan baru satu. Walhal kerainya kurang bangsa dua gulung lagi. Nah, tuh kerai gua mau gantung di atasnya. Tempo-tempo panas, kan tuh kerai bisa diturunin,” ujar Guru Mad Na‘im.
“Wah, Pasar Baru kagak nyediakan barang macem begituan guru. Yang begituan, kudu pesan ama orang Pondok Pinang. Ntar dah aya pesan ke orang Pondok Pinang. Kebetulan aya kenal orang Pondok Pinang ngantor di Gajah Mada,” kata Jakfar yang langsung teringat kepada Hasbullah, orang Pondok Pinang yang menjadi pegawai Kejaksaan. Kantor Kejaksaan RI zaman orde lama, bertempat di jalan Gajah Mada.
“Pokoknya lu atur aja dah. Sampe sini, gua bayar tuh barang,” kata Guru Mad Na‘im. Ia teringat bahwa kepandaian orang-orang kampung Pondok Pinang adalah kerajinan aneka perabotan yang terbuat dari kayu dan sejenisnya.
“Nah iya dah kalau begitu. Sekalian liwat, aya mampir di sonoh,” kata Jakfar seraya menyambar tangan Guru Mad Na‘im untuk pamitan.
Sepeda Jakfar menempuh jalanan belasan kilometer dari Cipete sampai Gajah Mada. Sejumlah kampung dilaluinya. Hampir di setiap kampung, ia mampir di warung sekadar menyulut rokok sebatang-dua sambil menyantap teh pagi. Ini juga yang membuat perjalanannya agak lama tiba di tujuan.
Menyusuri Sarinah, pusat perbelanjaan cukup bergengsi sebelum ada pasar Blok M dan Arion Plaza, Rawamangun, matahari mulai membakar punggungnya. Sampai di bawah Tugu Selamat Datang Hotel Indonesia yang tinggi menjulang, Jakfar tidak berhenti mengayuh dua roda sepedanya.
Di depan RRI, ia melewati seorang serdadu yang mematung di muka pos. Pikirnya, “Saking seriusnya dalam mematung, serdadu ini mungkin tidak sempat menghalau nyamuk Medan Merdeka Barat yang menyedot darahnya.”
Sampai di halaman kantor Kejaksaan, ia menyandarkan sepeda lalu masuk menemui Hasbullah. Kepadanya, Jakfar menyampaikan pesan Guru Mad Na‘im. Lepas berbasa-basi sedikit, ia mengarahkan sepedanya ke arah Timur, menuju Pasar Baru.
Merasa dapat amanah dari Guru Na‘im, seorang Kiai yang disegani di tanah Jakarta, Hasbullah memilih untuk membolos kerja keesokan harinya. Ia memanfaatkan hari bolosnya untuk mendatangi kampung Cipete, bagian timur kampungnya, Pondok Pinang.Usai Subuh, ia mendatangi tetangganya, pengrajin kerai bambu. Dua gulung kerai, dinaikkan di atas sepeda untuk dibawa pulang. “Bangsa siangan dikit dah, gua berangkat nanti,” katanya dalam hati.
Lepas Zuhur, ia menuntun sepedanya. Antara kampung Cipete dan Pondok Pinang, sebuah sawah membentang luas dan sebuah kampung; Gandaria. Sebagian berisi rawa-rawa berlumpur.
Dengan berlumur titik-titik lumpur sawah, ia tiba di pekarangan rumah KH. Muhammad Na‘im. Agak sedikit terkejut, Hasbullah melihat beberapa mobil dan belasan sepeda terparkir di pekarangan. Mobil pribadi masih merupakan pemandangan langka di tahun itu.
Sementara di pelataran rumah, para kiai dan aktivis partai NU dari pelbagai penjuru di Jakarta berkumpul. Kediaman KH. Muhammad Na‘im, menjadi salah satu tempat pertemuan saat kegiatan politik meningkat.
Dengan senyum, Guru Mad Na‘im menyambut pesanan kerainya. “Berapa duit nih dua?” kata KH. Muhammad Na‘im kepada Hasbullah.
“Kagak usah guru. Aya dah yang tutupin,” Jawab Hasbullah.
KH. Muhammad Na‘im mengerti bahwa Hasbullah takkan menerima uang pembelian kerai itu. Ia akhirnya putar akal. “Ya dah, lu taro sono aja. Jangan kemana-mana dulu. Gua ada bekal buat lubawa pulang ke rumah,” kata KH. Muhammad Na‘im dengan sedikit berlari ke dalam rumah.
Hasbullah akhirnya pulang dengan senang karena dapat memberikan sesuatu kepada seorang guru yang sangat disegani baik karena ilmu agama maupun ilmu silatnya. Ia membawa sebuah bungkusan berisi aneka kue basah yang kemudian diserahkan kepada istrinya.
Alangkah terkejutnya Hasbullah saat istrinya teriak menemukan duit di dalam bungkusan kue. “Yah, gua dah kata kagak usah dibayar tuh kerai, eh Guru Mad Na‘im selipin tuh duit di sini,” kata pegawai kejaksaan yang membolos hanya untuk mengantarkan pesanan guru terkulai lemas di balai panjangnya.Riwayat Singkat
KH Muhammad Na’im merupakan kiai dan aktivis NU yang lahir pada 1912. Ia adalah putra H. Na‘im, seorang juara (jawara Betawi) yang sangat disegani di Jakarta Selatan. Ia pun sempat mempelajari beberapa jurus silat. Tetapi perhatiannya lebih berat kepada pelajaran agama.
Pada tahung 1932, ia bermukim di Mekah. Dengan tekun ia menyerap ilmu agama dari guru-guru di sana. Pelajaran di Mekah adalah pendidikan lanjutannya setelah mengaji kitab kepada Guru Mughni, Kuningan dan Guru Makmun, menantu Guru Mughni.
Pulang mukim, ia cukup akrab dengan kiai NU lainnya; KH Abdul Wahid Hasyim, KH Idham Cholid, KH Syaifuddin Zuhri, KH Tohir Rohili, KH Mursyidi, KH Ahmad Syaikhu dan lain-lain. Posisinya sebagai salah satu pengurus Syuriah NU DKI Jakarta membuat ia sering menghadiri muktamar-muktamar NU di berbagai daerah.
Pada tahun 1949, bersama KH. Abdur Razaq Makmun (putra Guru Makmun), KH. Jumhur, ia menghadiri Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta. Pada kesempatan itu bersama Kiai Abdul Wahid Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Ahmad Dahlan ia menjadi saksi atas deklarasi Pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Kiai Haji Muhammad Na’im meninggal dunia pada 13 Mei 1973 setelah dirawat empat hari di RSCM Jakarta karena mengidap penyakit Jantung. Seminggu sebelum wafat ia masih sempat meresmikan pembangunan mushola Baitun Na’im di daerah Pedurenan Jakarta Selatan. Kiai Muhammad Na’im dimakamkan di komplek Masjid Annur, jalan KH. Muhammad Na’im, Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Alhafidz Kurniawan)