Fragmen

Inilah Kiai-kiai yang Mendirikan NU

Selasa, 3 April 2018 | 12:45 WIB

Inilah Kiai-kiai yang Mendirikan NU

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bishri Sansoeri merupakan tiga kiai, di antara kiai-kiai lain, yang hadir saat mendirikan

Gerakan para kiai Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) mendirikan organisasi merupakan lanjutan dari gerakan-gerakan para kiai sebelumnya. Kelanjutan dari gerakan Wali Songo dan ulama penyebar Islam lainnya. Selama ratusan tahun, sambung-menyambung, para ulama bergerak mempertahankan Islam di Nusantara. 

Karena keadaan terus berubah, tantangannya pun berbeda, cara para kiai Aswaja bergerak dalam mempertahankan dan menyebarkan Islam pun berubah juga. Jika sebelumnya hanya melalui pesantren dan tidak bergerak sendiri-sendiri, para kiai mencoba dengan mendirikan organisasi. Ini hanyalah persoalan cara, tapi intinya adalah mempertahankan Islam itu sendiri. Buktinya, pesantren dipertahankan, organisasi dijalankan. 

Tantangan baru itu adalah penjajahan bangsa Eropa. Mereka tidak hanya mengeruk kekayaan alam di Nusantara, tetapi menyebarkan agama dan budaya mereka dengan begitu masif karena terorganisir dengan baik. Dengan demikian, motif mendirikan organisasi adalah untuk menahan persebaran agama yang dibawa penjajah. Pada saat yang sama, berusaha lepas dari belenggu penjajahan (nasionalisme).

Motif mempertahankan agama, adalah Islam Ahlussunah wal Jamaah dengan mazhab empat. Sebab pada saat itu, di Timur Tengah muncul paham baru yang menggagas pembaruan dalam Islam dengan slogan kembali pada Al-Qur’an dan hadits dan antitaqlid kepada mazhab empat. Di Arab Saudi muncul pula paham Wahabi. 

Paham tersebut semakin kuat dan masif ketika disokong kekuasaan. Sejak Ibnu Saud, Raja Najed menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.  

Paham tersebut juga mendapat pengikut kuat di Nusantara yang mengampanyekan antibidah dimana-mana. Taqlid adalah penyebab kemunduran, melarang tahlilan, dan tradisi-tradisi keagamaan lain yang jelas-jelas memiliki dasar dari ajaran Islam sendiri, yang selama ini dilakukan paham Ahlussunah wal Jamaah.  

Para ulama Ahlussunah wal Jamaah di Nusantara, risau dengan kebijakan Arab Saudi tersebut. Mereka kemudian merencanakan untuk mengirimkan utusan ke Tanah Suci Makkah, menemui penguasa saat itu untuk meminta menghentikan kebijakan itu. Rencana untuk mengirim utusan dilaksanakan di kediaman KH Wahab Hasbullah di Kertopaten, Surabaya pada 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926, untuk membentuk Komite Hijaz.

Pada pertemuan itu, mereka memikirkan utusan yang akan dikirimkan itu atas nama apa. Karena belum ada wadah kelompok tersebut, mereka sepakat membentuk organisasi bernama Nahdlatul Ulama, kebangkitan ulama berdasarkan usulan KH Mas Alwi Abdul Aziz. 

Setelah menyepakati mendirikan organisasi, mereka kemudian menyepakati mengirimkan utusan ke Tanah Suci Mekkah untuk menyampaikan lima permohonan. Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz. Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat  bersejarah . Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai tarif yang harus diserahkan jamaah haji. Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut. Kelima, memohon  balasan surat kepada  kedua delegasi tersebut.  

Berdasarkan buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU karya Choirul Anam, para kiai yang hadir dalam pertemuan Kertopaten, Surabaya itu adalah KH Hasyim Asy’ari Tebuireng (Jombang, Jawa Timur), KH Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang, Jawa Timur), KH Bishri Syansuri (Jombang, Jawa Timur), KH Asnawi (Kudus, Jawa Tengah) KH Nawawi (Pasuruan, Jawa Timur) KH Ridwan (Semarang, Jawa Tengah) KH Maksum (Lasem, Jawa Tengah) KH Nahrawi (Malang, Jawa Tengah) H. Ndoro Munthaha (Menantu KH Khalil) (Bangkalan, Madura), KH Abdul Hamid Faqih (Sedayu, Gresik, Jawa Timur) KH Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon, Jawa Barat) KH Ridwan Abdullah (Jawa Timur), KH Mas Alwi (Jawa Timur), dan KH Abdullah Ubaid dari (Surabaya, Jawa Timur) Syekh Ahmad Ghana’im Al Misri (Mesir), dan beberapa ulama lainnya yang tak sempat tercatat namanya. (Abdullah Alawi)


Terkait