Fragmen

Kiai-kiai Banten Berembuk, Perlukah Mendirikan Cabang NU di Sana?  

Kamis, 6 Maret 2025 | 03:05 WIB

Kiai-kiai Banten Berembuk, Perlukah Mendirikan Cabang NU di Sana?  

Simbol Nahdlatul Ulama (Foto: NU Online)

Sebelum NU mendirikan cabang di Banten, para kiai di wilayah itu membicarakannya pada sebuah pertemuan yang diberitakan koran De nieuwe vorstenlanden (No. 260, 15 November 1928). Jika melihat titi mangsanya, para kiai Banten bermusyawarah setelah NU menyelesaikan Muktamar Ke-3 di Surabaya yang berlangsung pada 28 September 1928 atau bertepatan dengan 12 Rabiul Akhir 1346 H. 


Pada Muktamar Ke-3 itulah para kiai membentuk Lajnatun Nashihin atau semacam komite propaganda untuk mempercepat berdirinya NU di daerah-daerah. Komite ini, menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010: 86), beranggotakan sembilan ulama yang dipimpin langsung oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Delapan anggotanya adalah KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R Asnawi, KH Ma’shum, KH Mas Alwi, KH Musta’in, KH Abdul Chalim, dan KH Abdullah Ubaid.


KH Mas Abdurrahman dari Menes, Pandeglang, Banten, merupakan kiai yang secara berturut-turut menghadiri tiga muktamar awal. Tentu saja ia memahami tujuan dibentuknya Lajnatun Nashihin. 


De nieuwe vorstenlanden memang tidak menyebutkan KH Mas Abdurrahman sebagai inisiator pertemuan kiai-kiai Banten. Namun, tidak disebutkan bukan berarti tidak mendorongnya sama sekali. Bisa jadi, ia meminta kiai lain yang lebih muda untuk menyusun dan membentuk kepanitiaan untuk pertemuan itu. Selain itu, acaranya pun berlangsung di Menes, di daerah kediamannya.


Surat kabar itu kemudian menggambarkan suasana musyawarah para kiai Banten. Terjemahannya sebagai berikut:


"Pertemuan kiai yang sibuk. Kamis lalu, di gedung sekolah Islam di Menes, diadakan pertemuan para kiai Banten, dipimpin oleh (mantan) Ketua S.I. Haji Jasin. Tujuan pertemuan tersebut adalah mempresentasikan laporan dengar pendapat dari kongres Nahdlatul Ulama di Surabaya. Laporan disampaikan dua wakil kiai dari Menes, yaitu Kiai Haji Abdoerachman dan Kiai Haji Soleiman.


Yang hadir antara lain Hoofdpenghulu Serang, Wedana Pontang, Raden Prawiradinata di hadapan wakil konsul Belanda di Jeddah, Penghulu Landraad dan anggota van den Raad Agama Pandeglang dan pejabat Menes. Kegiatan itu mengundang kiai di seluruh Banten. Ada 38 kiai yang tidak memenuhi undangan, sementara 36 kiai hadir, di antaranya Kiai Haji Moeh. Darip dari Serang.


Salah satu hal yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut adalah, perlukah di Menes atau di tempat lain di Banten berdiri cabang Nahdlatul Ulama."


Pada akhirnya, para kiai Banten bersepakat mendirikan cabang NU di wilayah mereka 3 bulan setelah pertemuan tersebut. Buktinya, NU Cabang Pandeglang yang berpusat di Menes berdiri pada Jumat 15 Februari 1929.


Swara Nahdlatoel Oelama edisi 11 Dzulqa’dah 1349 H (hlm. 6-7) melaporkan pendirian NU Cabang Pandeglang bahwa Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) mengirim utusan atas nama Kiai Abdul Chalim (Leuwimunding) dan Abdullah ke Menes. Setiba di sana, kedua utusan dipersilakan berbicara dengan para guru dan orang-orang yang berkumpul.


Setelah pertemuan itu, dua utusan menetapkan berdirinya NU Cabang Pandeglang yang berpusat di Menes. Lebih lengkapnya, SNO, yang diterbitkan dalam Bahasa Jawa beraksara Arab (pegon), memberitakan pertemuan tersebut dengan terjemahan sebagai berikut:


“Pada 5 Ramadhan 1347, HBNO mengirim dua utusan ke Menes, Banten, yaitu KH Abdul Chalim dan Abdullah untuk menetapkan cabang NU Pandeglang yang berpusat di Menes. Setelah sampai, dua utusan langsung menuju rumahnya Kiai Yasin Menes, Wakil Syuriyah Cabang Nahdlatul Ulama. Di situ, setelah dihormati secukupnya, lalu mengadakan pertemuan kira-kira Pukul 21.00 sampai dengan 23.00. 


Hasil pertemuan itu adalah memutuskan bahwa besok siangnya, sekitar pukul 09.00, akan diadakan musyawarah di rumah KH Abdurrahman, Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Menes. Musyawarah itu akan dihadiri pengurus NU, para anggota, para ustadz, dan guru Madrasah Mathla’ul Anwar. 


Pada musyawarah itu, dua utusan HBNO, secara bergiliran, menerangkan tujuan jam’iyyah NU, menerangkan maksud qanun (peraturan-peraturan organisasi) NU secara rinci. 


Di dalam musyawarah itu, masing-masing anggota NU Menes mengajukan beberapa pertanyaan. Di antaranya adalah bagaimana sikap NU terhadap perkumpulan yang membidah-bidahkan amaliyah yang dijalankan mereka selama ini. Dua utusan HBNO menjawab pertanyaan itu dengan bukti-bukti secukupnya berdasarkan kitab-kitab ahlul bidah atau dari surat-surat kabarnya, berikut praktik-praktik mereka. 


Lalu sekitar pukul 13.00, musyawarah ditutup dengan membaca Alfatihah dan doa.


Setelah itu, dua utusan HBNO dipersilakan untuk jalan-jalan melihat gedung madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai di Menes. Setelah lewat habis maghrib, anggota dan guru-guru berikut tamu-tamu dipersilakan kumpul lagi yang di rumah Kiai Yasin. Di situ mereka disediakan jamuan besar. Lalu setelah Shalat Isya, dimulai musyawarah lagi sampai pukul 01.00." 

 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.