Lagu Pemilu dan Syair Mustika Jagad NU, Perlawanan terhadap Intimidasi Rezim Orde Baru
Senin, 22 Januari 2024 | 06:30 WIB
Tiba waktunya/ Untuk gunakan hak pilih kita/ Salurkan aspirasi bersama/ Demi bangsa//
Lagu jingle pemilihan umum (pemilu) 2024 yang dinyanyikan Kikan Namara dan Band Cokelat tersebut kerap kali muncul di beranda utama setiap penulis membuka Youtube. Barangkali karena algoritma, sedang musim pemilu. Atau karena penulis juga jadi salah satu penyelenggara pemilu.
Lagu tersebut juga rutin dinyanyikan pada setiap acara debat calon presiden dan calon wakil presiden setelah lagu Indonesia Raya berkumandang. Diiringi irama musik yang kekinian, jingle pemilu 2024 mengingatkan kepada kita untuk ikut berpartisipasi pada momen pesta demokrasi bangsa Indonesia, yang akan pada 14 Februari 2023.
Ayo rakyat Indonesia/ Bersatu langkahkan kaki/ Menuju bilik suara/ Rabu 14 Februari//
Ayo rakyat Indonesia/ Beri kontribusi nyata/ Raih asa bersama/ Kita memilih untuk Indonesia//
Lagu Pemilu ini mengingatkan penulis, pada era radio dan belakangan televisi menjadi media yang sangat populer bagi masyarakat Indonesia. Terlebih, ketika menjelang diselenggarakan pemilu. Lagu-lagunya akan semakin sering diputar. Tanpa diminta menghafal, kita yang sering mendengarkan, lama-lama akan ikut hafal lagu ciptaan Mochtar Embut ini:
Pemilihan Umum telah memanggil kita/ Seluruh rakyat menyambut gembira/ Hak demokrasi Pancasila, Hikmah Indonesia Merdeka//
Baca Juga
Teror Orba di Pemilu 1971
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/ Pengemban AMPERA yang setia/ Di bawah Undang-undang Dasar 45/ Kita menuju ke Pemilihan Umum//
Dikutip dari laman Rumah Pemilu, lagu ini digunakan pada pemilu di masa Orde Baru (1971-1997). Lagu tersebut kemudian digantikan 'Mars Pemilu', yang mulai diperdengarkan sejak Pemilu 1999 hingga 2014. Lirik 'Mars Pemilu' ciptaan Nortier Simanungkalit ini, ditulis dengan mencantumkan diksi kata populer di masa itu: reformasi.
Pemilihan Umum kini menyapa kita/ Ayo songsong dengan gempita/ Kita pilih wakil rakyat anggota DPR, DPD, dan DPRD//
Mari mengamalkan Pancasila/ Undang-Undang Dasar 45/ Memilih Presiden dan Wakil Presiden/ Tegakkan reformasi Indonesia//
Laksanakan dengan jujur, adil dan cermat/ Pilih dengan hati gembira/ Langsung, umum, bebas, rahasia/ Dirahmati Tuhan Yang Maha Esa//
Lagu pemilu ini menjadi cara yang cukup efektif untuk menyosialisasikan kegiatan pemilu kepada khalayak masyarakat. Dari data yang penulis dapatkan, lagu pemilu ini ternyata sudah ada sejak pemilu pertama di tahun 1955. Majalah Mimbar Penerangan yang diterbitkan Kementerian Penerangan (Kempen), edisi Juni 1953 memuat lengkap 'Lagu Pemilihan Umum'.
Lagu yang syairnya dibuat MR Dajoh dan lagu oleh Ismail Marzuki tersebut dinyanyikan dengan tempo 2/4 allegretto (agak cepat dan riang):
Pemilihan Umum ke sana beramai/ Marilah-marilah saudara-saudara/ Marilah bersama memberi suara/ Suara saudara sungguh kuasa/ Menentukan dasar tudjuan bersama/ Membina Negara Nasional jang mulia//
Syair Mustika Jagad NU
Cara menyosialisasikan momentum pemilu lewat lagu juga dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) kala masih menjadi partai. Beberapa lagu atau syair dibuat agar nama NU semakin melekat di masyarakat. Salah satunya Syair Mustika Jagad yang ditulis oleh KH Muhammad Shoimuri asal Blora, Jawa Tengah.
Pegiat Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro, pernah menuliskan Syair Mustika Jagad ini dalam akun facebook miliknya, pada 2019 silam. Menurutnya, syair ini ditulis pada saat Partai NU mengikuti Pemilu 1971.
"Pada pemilu tersebut, NU memang keluar sebagai pemenang kedua. Akan tetapi, menjadi pemilu terberat. Orde Baru yang baru berkuasa dengan menggunakan Golkar sebagai kendaraan politiknya, menghalalkan segala cara. Tak terkecuali melakukan intimidasi terhadap warga Nahdliyin. Sehingga banyak yang menduga, sebenarnya NU keluar sebagai pemenang, jika pada saat itu, tak terjadi rangkaian intimidasi yang dahsyat dan serangkaian kecurangan yang lain. Menghadapi pemilu yang pelik tersebut, NU terus memompa semangat warganya. Sebagaimana pada pemilu sebelumnya dan kegemaran warga Nahdliyin, dibuatlah syair-syair untuk memberi semangat sekaligus pendidikan politik," tulis Ayung.
Adapun Syair Mustika Jagad terdiri dari beberapa bait dan dapat dilagukan sama dengan irama shalawat: Maula ya Sholli wa sallim daiman abada/ ala habibika khoiri kholqi kullihimi// Huwal habibulladzi turja syafa'atuhu/ likulli haulin minal ahwali muqtachimi//
Bagi warga NU, tentu syair shalawat akan lebih mudah masuk ke telinga mereka, dan kemudian juga untuk dilafalkan kembali. Syair Mustika Jagad dibuka dengan penggalan syair yang menerangkan simbol sekaligus pentingnya keberadaan NU.
NU iku gambare/ Jagad bunder bumine/ Lintang sanga cacahe/ Tampar hukum artine//
NU kelawan keluarga/ Serta kabeh manungsa/ Padha urip ing dunya/ Bumi dadi mustika//
Setelah menjelaskan terkait segala macam simbol dan kelebihan Partai NU, tak lupa, KH Muhammad Shoimuri juga mengingatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu dengan mencoblos Partai NU. Ia juga mengajak, khususnya kepada nahdliyin agar berani dalam menggunakan hak suaranya meskipun banyak intimidasi dan tekanan dari sana-sini.
NU nyatet tanggale/ Tiga Juli milihe/ Sabtu Pahing dinane/ rakyat milih wakile//
NU ngejak kang perigel/ ayo konco sing kendel/ Aja wedi wong mangkel/ paling-paling mung gerundel//
NU ngilingna rakyat/ milih kanthi tepat/ Pikir kelawan sing cermat/ ojo kuatir dipecat//
Pemilu 1971, memang menjadi salah satu momen kelam bagi para pengurus dan anggota NU. Semisal, bagi mereka yang menjadi PNS, mesti menghadapi kebijakan monoloyalitas. Secara sederhananya, mereka disuruh memilih: tetap menjadi pengurus/anggota NU atau dipecat dari pekerjaan.
Demikianlah, beberapa penggalan Syair Mustika Jagad karya KH Muhammad Shoimuri Blora tersebut. Syair-syair yang ia tulis, mewakili kegelisahan para kader NU, sekaligus menjadi gambaran akan semangat 'perlawanan' politik yang dilakukan kala NU masih menjadi parpol.
Tahun 1984, Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur memutuskan NU kembali ke khittah 1926, kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan tak lagi menjadi partai politik. Sedangkan pengurus dan warga NU dipersilakan untuk tetap menggunakan hak politiknya tanpa menggunakan organisasi NU sebagai kendaraan. Sejak saat itu sampai sekarang, kata orang-orang: NU ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana!
Ajie Najmuddin, penulis buku Menuju Satu Abad NU