Meski Indonesia bukan negara Islam, tapi kaum Muslim bisa dengan leluasa menyelenggarakan syiar-syiar keislaman. Satu dari sekian banyak contohnya, adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Negara mengapresiasi tradisi bernilai islami ini dengan menjadikannya sebagai salah satu hari libur nasional. Perayaannya semarak dilaksanakan oleh berbagai kalangan, tidak terkecuali instansi-instansi pemerintah. Di tingkat pemerintah pusat, perayaan Maulid Nabi Muhammad sudah sering terlaksana bahkan dari sejak masa kepresidenan Sukarno.
Jejak yang bisa kita lacak mengenai peringatan-peringatan Maulid Nabi pada masa pemerintahan Presiden Sukarno di antaranya melalui harian Duta Masjarakat, salah satu surat kabar milik Nahdlatul Ulama yang dirintis oleh KH Wahid Hasyim sejak tahun 1954, dan mendapat izin terbit dari pemerintah pada 31 Oktober 1958 dengan No. 81/109/PPDSIDR/958 (M. Imam Aziz, et al, Ensiklopedia Nahdlatul Ulama Jilid III, 2014: 32).
Misalnya, edisi 29 Agustus 1960 dengan tajuk Pekan Maulid Nabi Besar Muhammad S.A.W. besar2an di Ibu Kota, harian Duta Masjarakat memberitakan akan adanya perayaan Maulid Nabi secara besar-besaran di Jakarta. Di antara kegiatan yang akan dihelat adalah; 1 September 1960 akan diadakan Malam Qira’tul Qur’an yang berlokasi di Masjid Matraman; 2 September 1960 akan digelar Malam Deklamasi Sajak di Menteng Raya 58, di mana para peserta akan membacakan sajak-sajak keagamaan dan puisi yang bertemakan Maulid Nabi; dan 3 September 1960 akan diadakan parade sepeda berhias.
Baca Juga
Pancasila, Soekarno, dan Keteladanan
Puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad tersebut adalah dengan diadakannya Maulid Akbar di Lapangan Istana Merdeka pada tanggal 4 september 1960. Satu hal penting yang dikemukakan Presiden Sukarno dalam pidatonya adalah perihal kesadaran dirinya yang merasa seperti tidak punya ukuran yang cukup untuk menilai kebesaran Nabi Muhammad. Dengan pikirannya, hatinya, dan dengan buku-buku yang dibacanya tentang Nabi Muhammad, Presiden Sukarno merasa ukurannya “tak gaduk” (tak sampai). Begitu yang diberitakan Duta Masjarakat dalam tajuk Presiden Sukarno: Nabi Muhammad adalah tjontoh jang tidak bisa salah edisi 5 September 1960.
Sementara itu, Duta Masjarakat edisi 23 Juli 1964 menulis tajuk Presiden Sukarno Pada Peringatan Maulid Nabi: Perdjuangan Menentang Imperialisme Adalah Perintah Nabi Besar Muhammad S.A.W. Tajuk ini berdampingan dengan pemberitaan mengenai Presiden Sukarno yang menyambut baik keputusan Musyawarah Kerja Muslimat NU yang dihelat tanggal 22 Juli 1964.
Musyawarah Kerja tersebut adalah berupa dukungan penuh Muslimat NU terhadap Operasi Dwikora yaitu upaya Presiden Sukarno untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia yang menurutnya adalah bagian dari proyek New Imperialisme. Bahkan, protes terhadap pembentukan negara Malaysia itu juga masih terus disinggung Presiden Sukarno dalam pidato peringatan Maulid Nabi Muhammad tahun berikutnya.
Pada tahun 1965, Duta Masjarakat edisi 13 Juli kembali memberitakan peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan di Istana Negara. Tajuk yang dipilih tertulis Presiden Sukarno: Kita Harus Anggap Nabi Muhammad s.a.w. Pemimpin Terbesar.
Pada acara itu, diberitakan hadir dan memberikan sambutan tokoh NU yang sekaligus Menteri Agama, yaitu KH Saifuddin Zuhri. Selain tentunya hadir juga para menteri dan para duta besar, pemimpin masyarakat, serta ribuan massa yang memenuhi ruangan.
Baca Juga
Hubungan Ideologis NU Soekarno
Yang menarik, pada saat itu pembacaan ayat suci Al-Qur’an dilantunkan oleh seorang qari’ah muda bernama Rofiqoh Darto Wahab yang terkenal dalam sejarah musik religi sebagai pelopor seni Qasidah modern. Ia lahir 18 April 1945, di Kranji, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Ayahnya, KH Munawwir adalah pengasuh Pesantren Munawwirul Anam Kabupaten Pekalongan yang memiliki ribuan santri, dan ibunya, Hj. Munadzorah berasal dari keluarga Pesantren Buntet, Cirebon.
Terkait peringatan Maulid Nabi Muhammad tahun 1965 ini, Presiden Sukarno berpidato secara panjang lebar, di antaranya, ia mengatakan:
“Saudara-saudara, tadi Bapak Menko Prof. Kiai Saifuddin Zuhri mengatakan bahwa waktu di Paris, saya sedang sibuk-sibuknya memberi amanat kepada Duta-duta Besar kita, pada waktu itu saja tidak lupa memerintahkan kepada Bapak Saifuddin Zuhri untuk mengadakan peringatan Maulud Nabi di Istana Negara. Saya tidak berhenti-henti ingat, wah, ini bulan Maulud, ini bulan Maulud, kita nanti di Djakarta harus mengadakan peringatan Maulud jang sebaik-baiknja. Kita hanja mempunjai dua hari besar Islam, jaitu hari Idul Fitri dan Idul Qurban, tjuma dua ini hari besar kita. Tetapi sebagai Saudara-saudara mengetahui, zaman sekarang, salah-satu hari jang kita muliakan, salah-satu hari jang kita muliakan dalam perikehidupan kita sebagai umat Islam, ialah hari Maulud Nabi kita jang kita tjintai” (halaman 5).
Soal Pancasila, ia berkata:
Baca Juga
Muktamar NU Ke-23 dan Pengakuan Soekarno
"Adjaran Pantjasila, berulang-ulang didalam kongres-kongres iternasional saya katakan, bahwa sebenarnja Pantjasila itu adalah satu dasar universil. Universil artinja boleh dipakai oleh seluruh bangsa, bangsa kulit putihkah, bangsa kulit hitamkah, bangsa kulit kuningkah, bangsa kulit sawo matangkah, semuanja djikalau mempunjai negara, boleh negaranja itu didasarkan atas Pantjasila, oleh karena Pantjasila adalah satu adjaran atau satu dasar universil. Dan ketjuali Pantjasila, Saudara-saudara, Republik Indonesia selalu memberi konsepsi-konsepsi" (halaman 12).
Apa yang dipidatokan Presiden Sukarno tersebut kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI, dengan diberi keterangan “PENERBITAN CHUSUS” bernomor 380. Adapun judul buku ini adalah Republik Indonesia Memberikan Konsepsi–Konsepsi kepada Seluruh Dunia; amanat Presiden Sukarno pada peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. di Istana Negara Djakarta, pada tanggal 12 Djuli 1965.
Buku setebal 16 halaman tersebut kini menjadi koleksi dan tersedia di Perpustakaan Nasional. Untuk file digitalnya, dapat diakses melalui website resmi Perpustakaan Nasional. Sementara rekaman audio dari pidato Presiden Sukarno tersebut, kini menjadi koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, dan sudah tersebar di berbagai platform media sosial, seperti YouTube.
Agung Purnama, pengurus Lakpesdam NU Jawa Barat dan dosen tetap Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung