Sebelum dirajai JNE, TIKI, dan lain-lain, dunia jasa pengiriman ‘swasta’ sempat didominasi oleh jasa pengiriman yang namanya memper dengan surat al-Fatihah, yaitu ‘Elteha’. Biasalah, orang kita, termasuk orang-orang pesantren, hobinya memleset-mleset-kan atau mememper-memper-kan sebuah kata dengan kata lain yang pelafalannya mirip.
Nah, era tahun 1980-an adalah era umat Islam Indonesia masih ramai khilafiyah atau perbedaan yang terkait urusan ‘komplementer‘ dalam tradisi Islam. Tetapi sering menjadi materi adu pendapat di tengah-tengah masyarakat kita. Salah satunya adalah bab mengirimkan hadiah surat al-Fatihah kepada orang yang sudah meninggal: hadiah tersebut diterima atau tidak oleh orang yang sudah meninggal?
Kalangan Muhammadiyah bersikukuh kiriman tidak sampai, karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Sementara, orang NU percaya betul kiriman hadiah surat al-Fatihah (dan lain-lain) akan sampai ke tujuannya, karena ada ulama terdahulu mengatakan seperti itu.
Ini urusan komplementer dalam Islam, tetapi dalam tradisi orang NU, urusan kirim hadiah ke si mayit itu urusan besar, selain soal doa, tetapi juga menyangkut ritual-ritual agama yang mengakar, seperti tahlilan, kenduren hingga peringatan haul!
Itu perbedaan pendapat tajam dan seru sehingga Gus Dur merasa perlu menulis khusus tentang kirim hadiah Fatihah ini. Gus Dur menulis dengan hati-hati, tetapi tampak bernada santai, bahkan merelatifisir 2 pendapat yang saling bertentangan tersebut.
Nada santai atau humor cukup terlihat dari tulisan Gus Dur dengan memlesetkan surat al-Fatihah dengan Elteha Akhirat. Dengan menulis begitu, Gus Dur ingin mengajak masyarakat agar menanggapi perbedaan hukum kirim hadiah Fatihah itu dengan santai, dengan kepala dingin.
”Yang dari Muhammadiyah tidak melihat “dalil yang dapat dipegangi” dan Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad untuk menunjang kemungkinan kiriman via “Elteha akhirat” sampai ke tujuan di ‘alam sana’. Yang NU memegangi pendapat para ulama mazhab yang empat, yang menerima kemungkinan seperti itu,” tulis Gus Dur dalam esainya yang berjudul "Tokoh Kiai Syukri" (terbit pertama di majalah Tempo, 1980, lalu menjadi salah satu esai dalam buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, LKiS, 1999).
Baca Juga
Humor Gus Dur: Menelepon Menteri Agama
Kiai Syukri inilah yang menjadi sandaran Gus Dur berpendapat. Gus Dur merasa perlu meminjam pendapat Kiai Syukri ini, agar kuat, ada temannya, didengar pihak-pihak yang ’berseteru’.
Ya, kiai bernama lengkap Syukri Ghazali (1906-1984) ini dari NU tetapi juga dekat dengan kalangan Muhammadiyah, selain sebagai ketua umum MUI tahun 1981-1984.
”Bagaimana (pendapat) Kiai Syukri?” Gus Dur bertanya dalam tulisannya. Lalu dia menceritakan suasana forum dan menuliskan jawaban Kiai Syukri:
Semua mata memandang penuh harap kepada kiai metropolitan yang menjadi godfather-nya sekelompok “mafia intelektual” dari sebuah daerah di selatan Jawa Tengah ini. Ternyata, tidak meleset harapan mereka. Kata Kiai: “Hadiah Fatihah tidak sampai ke alamatnya, menurut Imam Syafi’i. Ia sampai menurut ketiga imam mazhab yang lainnya. Kita ikuti suara mayoritas sajalah.”
Semua lega. Yang dari Muhammadiyah merasa aman karena pendapat mereka juga sejalan dengan pendapat imam pendiri mazhab yang paling banyak diikuti di Indonesia. Yang dari NU lega, karena masih bisa mengirimkan “hadiah ulang tahun (kematian)” yang mereka warisi dari para kiai zaman dahulu. Sudah tentu kirimannya tidak segera sampai, secepat pos kilat khusus, karena tidak didukung oleh Imam Syafi’i, tetapi mereka toh sudah terbiasa dengan pola “alon-alon asal kelakon”?
Demikianlah tentang al-Fatihah atau Eltehah Akhirat..
Hamzah Sahal, menulis fragmen-fragmen pesantren, menulis dua buku humor: Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020). Kini sedang menyiapkan buku humor ketiganya