Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
Senin, 24 Maret 2025 | 10:30 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Jakarta, NU Online
Pada 10 Ramadan 1446 H atau 11 Maret 2025, Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia (MKI) mengeluarkan fatwa yang melarang peredaran 12 buku, termasuk dua karya akademik Ahmet T. Kuru, Profesor Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Arab di San Diego State University.
Fatwa yang diputuskan berdasarkan rapat MKI pada 24-26 September 2024 menyatakan bahwa buku-buku tersebut, termasuk Islam, Authoritarianism and the Decline of the Nation (2024) dan Alliance of Ulama: The Country of the Cause of Authoritarianism and the Decline of the Muslim World (2022), dinilai Malaysia bertentangan dengan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah (Al-Asyairah Al-Maturidiyyah), hukum syarak, dan moralitas Islam serta dapat mengelirukan umat Islam alias menyesatkan.
Fatwa Malaysia ini tidak hanya melarang peredaran, tetapi juga mengharamkan umat Islam untuk memiliki, menyimpan, mencetak, menjual, atau menyebarkan 12 buku tersebut.
Bagi Ahmet T. Kuru, sikap represif MKI terhadap bukunya justru menjadi bukti nyata tesis utamanya bahwa aliansi ulama-negara menciptakan iklim anti-intelektual yang menekan pemikiran kritis dan menghambat kemajuan dunia Islam, sebagaimana ia ungkapkan dalam klarifikasi di media sosial pribadinya.
“Pelarangan ini mengonfirmasi apa yang saya tulis tentang keberlangsungan otoritarianisme dan keterbelakangan di hampir semua dari 50 negara mayoritas Muslim saat ini,” tegas Ahmet Kuru dalam wawancara eksklusif dengan NU Online pada Ahad, (23/3/2025).
Kuru juga menolak klaim bahwa bukunya bertentangan dengan Islam Sunni. “Buku-buku ini adalah karya akademik di bidang ilmu sosial, bukan teologi. Saya berupaya membela Islam dari tuduhan para pengkritiknya dengan menunjukkan masa keemasan umat Islam dalam sains dan ekonomi pada periode awal sejarah, sekaligus menggali cara meraih kemajuan serupa di masa kini,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa salah satu bukunya hanya memiliki dua atau tiga paragraf yang mempertanyakan pendekatan berbasis nalar Abu Hanifa dan Imam Maturidi sebagai alternatif pendekatan tekstual Imam Syafi’i dan Asy’ari.
“Apakah bertanya seperti itu terlarang dalam tradisi Sunni yang beragam?” ucap Kuru mempertanyakan klaim fatwa MKI, bahwa bukunya bertentangan dengan tradisi sunni.
Dia berargumen bahwa keterbelakangan dunia Muslim bukan disebabkan oleh Islam, melainkan oleh aliansi ulama-negara yang terbentuk setelah abad ke-11.
“Aliansi ini meminggirkan kaum intelektual dan pengusaha, menyebabkan stagnasi ilmiah dan ekonomi,” ujarnya.
Dalam konteks Malaysia, Kuru melihat pola serupa. Tahun lalu, saat mengunjungi Kuala Lumpur, kepolisian sempat berusaha menangkapnya, dan kini bukunya dilarang. “Dinamika ini menunjukkan sifat anti-intelektual aliansi ulama-negara di Malaysia,” katanya.
Kepada NU Online juga, Kuru mengungkapkan keheranannya, mengapa otoritas keagamaan Malaysia menjadi satu-satunya negara yang melarang karyanya, padahal bukunya diterima luas di negara mayoritas Muslim seperti Nigeria, Bosnia, Maroko, hingga Bangladesh.
Ketika ditanya cara mendorong dialog antara otoritas keagamaan dan akademisi agar insiden ini tidak terulang, Kuru menekankan pentingnya saling menghormati perbedaan.
“Peran ulama seharusnya mencerahkan masyarakat melalui penelitian, bukan memaksakan pandangan dengan otoritas pemerintah,” tuturnya.
Ia juga mengkritik pemerintah Malaysia yang mengusung konsep “Madani” tapi bertindak kontradiktif dengan melarang buku, sebuah langkah yang ia nilai selalu bermasalah secara historis.
Dalam media sosialnya, Kuru menyarankan agar pemerintah Malaysia tidak mengikuti fatwa tersebut demi menegakkan kebebasan akademik, yang akan mendorong kemajuan intelektual dan memperkuat reputasi global Malaysia.
Ahmet T. Kuru juga membandingkan situasi ini dengan Indonesia, yang dinilainya lebih demokratis dan toleran berkat kemandirian ulama dari negara.
“Organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berfungsi sebagai kelompok masyarakat sipil, bukan perpanjangan tangan pemerintah. Indonesia jauh lebih baik dalam hal kebebasan berpendapat,” ujar Kuru.
Di era internet dan kecerdasan buatan, Kuru menilai pelarangan buku sia-sia dan tidak relevan. Menurut dia, jika Malaysia memberlakukan larangan ini, dampaknya hanya mencoreng reputasinya di mata dunia. Kemajuan intelektual bergantung pada kebebasan berdebat.
"Menekannya justru memperkuat otoritarianisme dan menghambat perkembangan; persis seperti yang saya soroti dalam buku saya,” tandas Kuru..
Terpopuler
1
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
2
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Gus Baha Anjurkan Zakat Diberikan kepada Keluarga Terdekat
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
Terkini
Lihat Semua