DPR dan Anak TK
Suatu ketika, para anggota dewan terhormat tak terima, ketika Gus Dur berseloroh di ujung penjelasan tentang pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, pada Sidang Paripurna DPR, 18 November 1999, bahwa DPR tak ubah seperti Taman Kanak-Kanak (TK).
“Keterangan saya tidak begitu dipahami, karena memang enggak jelas bedanya antara DPR dan Taman Kanak-Kanak,” ujar Gus Dur, dan langsung panen protes dan interupsi.
Selorohan Gus Dur, DPR dan TK memang menuai polemik. Sebagian anggota DPR bersikeras sang presiden menarik ucapannya, namun sebagian lagi menganggap humor semata.
Sehari berselang, Gus Dur pun menjelaskan kata-kata kemarin tak bermaksud merendahkan DPR, sekadar becanda dan itu telah menjadi tradisi kiai-kiai pondok pesantren. (*)
DPR dan Playgroup
Sindiran Gus Dur ini dilayangkan saat terjadi ketegangan antara Koalisi Kerakyatan dengan Koalisi kebangsaan. Gus Dur kala itu menyebut bahwa sikap DPR bukan semakin baik, tetapi malah semakin mundur.
Gus Dur menyinggung sindiran sebelumnya yang mengatakan DPR bak anak-anak TK.
"DPR sekarang biarkan saja seperti ini. Termasuk adanya komisi tandingan dari Koalisi Kerakyatan. Karena DPR bukan taman kanak-kanak lagi tetapi sudah melorot menjadi Playgroup," selorohnya. (*)
Penyesalan Gus Dur kepada Anak TK
Sore itu Gus Dur duduk-duduk santai dengan Kang Maman Imanulhaq di pelataran Masjid Al-Munawwaroh Ciganjur, Jakarta Selatan (baca Fatwa dan Canda Gus Dur, 2010). Di saat itulah Gus Dur mengungkapkan penyesalannya dan merasa berdosa kepada anak-anak TK.
“Saya menyesal telah menyamakan DPR dengan anak TK,” ujar Gus Dur.
“Kenapa Gus, apa karena itu lembaga negara?” tanya Kang Maman penasaran.
“Bukan itu. Saya merasa berdosa telah meremehkan anak-anak yang suci, cerdas, dan kreatif dengan menyamakan mereka seperti anggota DPR,” jelas Gus Dur lirih.
“Lalu, mereka itu pantas disamakan dengan siapa, Gus?” tanya Kang Maman lagi.
“Dengan sesama mereka,” jawab Gus Dur. (*)
Wakil Rakyat Naik Pangkat
Di sebuah negara, muncul suatu kebijakan baru yang belum pernah dilakukan di negeri lain. Semua orang yang berpangkat Wakil dinaikkan pangkatnya.
Wakil Presiden jadi Presiden, Wakil Menteri jadi Menteri, Wakil Penglima jadi Penglima, Wakil Gubernur jadi Gubernur, Wakil Lurah jadi Lurah, dan lain sebagainya.
Kebijakan tersebut menetapkan tidak ada penggusuran posisi. Perkara ada dobel posisi, itu bisa diatur pembagian tugasnya. Masalah pembengkakan anggaran, semua ditanggung oleh negara.
Sesudah mantap dengan rancangan kebijakan tersebut, diajukanlah program ini ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mereka. Ternyata DPR menolak dengan sangat keras.
“Apa alasan bapak-bapak yang terhormat menolak keras kebijakan ini?” kata salah seorang dari eksekutif pemerintahan.
“Ya jelas menolak, pak. Mereka itu Wakil Rakyat, tidak mau jadi Rakyat,” bisik teman sesama eksekutif yang berada di sampingnya. (*)
Gaji Rakyat dan Wakilnya
Ramai-ramai soal polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR yang konon katanya wakil rakyat juga mendapat perhatian Roni dan Yuli. Dua sejoli ini justru lebih banyak membincang politik ketika sedang bersama-sama.
“Menurutmu bagaimana UU Cipta Kerja itu?” ucap Yuli mengawali perbincangan hangat.
“Biar saja, itu urusan wakil rakyat. Kita urus masa depan hubungan kita saja,” jawab Roni berusaha mengalihkan obrolan.
“Nggak bisa, Bang. Itu tanggung jawab kita juga sebagai rakyat. Selama ini DPR semena-mena tak menghiraukan suara rakyat,” ujar Yuli kekeh.
“Yah, mungkin sudah nasib kita sebagai rakyat, dik,” tutur Roni pasrah.
“Maksud abang?” Yuli penasaran sama kekasihnya itu.
“Iya dik, kita ini sekarang hidup di negara yang menyebut Surat Izin Mengemudi padahal bentuknya kartu. Sebaliknya, menyebut Kartu Keluarga padahal bentuknya surat,” jelas Roni mengungkapkan ironi.
“To the point aja lah, bang,” ujar Yuli tak sabar.
“Maksud abang begini, dik. Sekarang nyatanya gaji presiden lebih besar dari wakil presiden. Gaji gubernur juga lebih besar dari wakil gubernur. Harusnya gaji rakyat lebih besar dong dari wakil rakyat,” seloroh Roni. (*)
Gelar ‘Guru Besar’ Anggota Dewan
Gus Dur bercerita tentang seorang anggota legislatif yang ngotot ingin mengubah Indonesia dari negara bangsa yang berdasarkan persatuan dan kemajemukan, menjadi negara agama yang cenderung kaku dan eksklusif atau tertutup.
"Saat anggota dewan itu jadi pembicara di sebuah seminar, ia dipanggil dengan titel ‘Prof’ di depannya," kata Gus Dur.
"Ketika kembali ke kantornya, Satpam pun mempersilakan masuk kepada anggota dewan kita itu dengan berkata, "Silahkan masuk, Prof."
Nah, kolega-koleganya pun, kata Gus Dur, ternyata menyambut dengan berkata, "Selamat pagi Prof, Assalamu’alaikum Prof."
Si anggota dewan ini heran juga, padahal seumur-umur dia belum pernah dianugerahi gelar profesor atau guru besar.
"Atau karena keberaniannya ya dia mendapat gelar terhormat itu," kata si anggota dewan dalam hati.
Karena saking bangga dan penasarannya anggota dewan ini pun bertanya kepada kroninya. "Kenapa ya saya sekarang dimana-mana dipanggil Prof?"
"Wah...jangan bangga dulu pak!" kata si kroni.
"Mereka itu nyebut prof bukan dengan akhiran huruf F tetapi dengan huruf V, jadi Prov, gitu!"
"Lho, Prov apa artinya itu?" tanya si anggota dewan penasaran.
"Provokator,” seloroh kroninya. (*)
Kondisi Hati Anggota DPR
Seorang bernama Abraham yang kerap dipanggil Bram nampak mondar-mandir diselimuti rasa cemas di lorong rumah sakit.
Dia mempunyai seorang adik bernama Elang yang sedang mengidap penyakit gagal hati. Tapi, di tengah keterpurukannya itu, Elang merupakan pribadi yang pandai menghibur diri.
Oleh dokter, Bram diceritakan bahwa adiknya membutuhkan donor hati segera. Tapi, dokter dan Bram mencoba menerangkan kepada Elang atas apa yang sedang menimpanya.
“Bapak Elang harus melakukan transplantasi hati kalau mau pulih total,” kata sang dokter.
“Maksudnya hati saya diganti, dok?” tanya Elang.
“Benar pak, kami persilakan bapak berpikir untuk mencari calon pendonor hati,” ujar si dokter.
“Kalau begitu, saya minta dibantu carikan donor seorang anggota DPR, dok,” pinta Elang.
“Kenapa harus anggota DPR, pak?” tanya dokter heran.
“Karena hati mereka jarang dipakai,” seloroh Elang. (*)
(Fathoni)