Internasional

Perdebatan Jill Stein sebagai Pilihan Alternatif dalam Pemilu AS 2024

Senin, 4 November 2024 | 20:30 WIB

Perdebatan Jill Stein sebagai Pilihan Alternatif dalam Pemilu AS 2024

Potret Jill Stein. (Foto: Instagram Jill Stein)

Chicago, NU Online

Jill Stein, kandidat dari Partai Hijau, kembali terjun dalam pemilihan presiden Amerika Serika tahun 2024. Ia mengajukan program berbasis lingkungan dan keadilan ekonomi. Ia, sebagaimana dikutip dari NDTV, memiliki latar belakang sebagai seorang dokter yang beralih menjadi politisi.


Stein, dengan pandangan politik yang independen dan orientasi kebijakan luar negeri yang progresif, dianggap menawarkan alternatif yang lebih selaras dengan kepentingan rakyat Palestina dan perdamaian global. Visi misinya tentu saja menjadi salah satu alternatif bagi Sebagian umat Islam di Amerika.


Stein mulai populer di kalangan aktivis lingkungan pada awal 2000-an dan menjabat sebagai calon presiden Partai Hijau pada 2012 dan 2016, dengan fokus utamanya pada pelestarian lingkungan dan reformasi ekonomi.


Kampanye 2024 Stein kembali menggarisbawahi platform ‘Green New Deal’—proposal atau rancangan program untuk mengatasi perubahan iklim sekaligus menciptakan lapangan kerja. Stein, dalam laman kampanyenya, menyatakan bahwa Partai Hijau adalah satu-satunya pilihan bagi mereka yang mencari perubahan nyata terhadap struktur kekuasaan. Keterangan tersebut sebagaimana dikutip dari situs resminya


Dikutip dari USA Today, di antara programnya, Stein menekankan penghentian subsidi bagi perusahaan bahan bakar fosil dan transisi ke energi bersih, sambil menciptakan ribuan lapangan kerja baru di bidang energi hijau.


Secara politis, Stein menghadapi tantangan dalam mendapatkan dukungan luas di negara yang didominasi oleh dua partai besar. Namun, basis pemilihnya yang setia, terutama dari kalangan muda dan aktivis lingkungan, memberikan harapan untuk memperjuangkan isu yang kerap terabaikan.


“Pemilih Amerika layak mendapatkan pilihan yang berani dan berkelanjutan,” ungkap Stein, menyuarakan harapannya agar publik dapat lebih kritis terhadap isu-isu lingkungan dalam pemilu kali ini, sebagaimana dikutip dari NDTV.


Di sisi lain, pada artikel opini tanggal 28 Oktober 2024 di Urban Milwaukee dengan judul A Vote for Jill Stein is a Vote for Donald Trump, Alderwoman Marina Dimitrijevic, wakil Distrik 14 di Milwaukee, mengkritik keras Jill Stein. Menurutnya, memilih Stein pada pemilu kali ini sama saja dengan membantu kembalinya Donald Trump. Ia menyebut Stein sebagai sosok yang justru menguntungkan Partai Republik, mengingat sejarahnya menarik suara dari kandidat Demokrat pada pemilu 2016, yang pada akhirnya memberikan keunggulan bagi Trump. 


Dimitrijevic menilai bahwa hanya Kamala Harris yang dapat menghadang ancaman MAGA dan memperjuangkan isu-isu lingkungan serta keadilan sosial yang konkret. “MAGA”, sebagaimana dikutip dari situs resmi Donald Trump, adalah singkatan dari “Make America Great Again,” slogan politik yang dipopulerkan oleh Donald Trump saat kampanye presiden 2016 dan juga sekarang.


“Memilih Stein sama dengan memilih Trump” merupakan slogan yang muncul dari Komite Nasional Demokrat (DNC) agar pemilih Demokrat tetap setia pada kandidat utama partai. Jill Stein berpotensi mengubah hasil pemilu 2024 di negara-negara bagian penting seperti Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin," tulis Dimitrijevic.


Peter Rothpletz, seorang jurnalis dan penulis yang saat ini berbasis di New York menulis kritik yang diarahkan pada Stein adalah bahwa kepemimpinannya dianggap tidak berhasil memperluas basis dukungan Partai Hijau dan gagal menciptakan kemajuan substansial untuk partai tersebut. Hal ini sebagaimana dilansir The New Republic dalam artikel berjudul Jill Stein Is Killing the Green Party.


Meskipun ia telah beberapa kali mencalonkan diri sebagai presiden, Partai Hijau tetap tidak memiliki kursi di tingkat federal atau jabatan penting di tingkat negara bagian, dan jumlah anggota partainya menurun sejak masa kepemimpinannya. Stein dianggap lebih banyak memanfaatkan partai sebagai platform pribadi, bukan sebagai alat yang efektif untuk perubahan politik. 


Anggota Kongres progresif Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez, juga mengkritisi Stein, “Bagaimana saya memberi tahu teman-teman saya yang memilih Jill Stein bahwa mereka hanya membuang-buang waktu dan usaha mereka?”


“Ini mungkin sedikit pedas, tapi saya punya pendapat… jika Anda mencalonkan diri sebagai presiden, Anda adalah pemimpin de facto partai Anda,” lanjutnya, “dan jika Anda mencalonkan diri berulang kali dan partai Anda tidak tumbuh, tidak menambah kursi dewan kota, kandidat pemilihan lokal, atau perwakilan negara bagian, itu adalah kepemimpinan yang buruk," katanya seperti dilansir Aol.


“Jika Anda hanya muncul setiap empat tahun sekali untuk berbicara pada orang-orang yang merasa marah, itu tidak serius. Menurut saya, itu tidak terlihat otentik, malah terlihat eksploitatif,” lanjut Ocasio-Cortez.


Stein juga, seperti dikutip dari The New Republic, kerap dikecam karena inkonsistensi antara retorikanya yang keras terhadap korporasi besar dan praktik keuangannya sendiri. Meskipun sering mengkritik perusahaan besar seperti Exxon dan perusahaan energi lainnya atas dampak lingkungan yang mereka timbulkan, Stein justru diketahui memiliki investasi signifikan dalam dana indeks yang melibatkan perusahaan-perusahaan tersebut.


Dalam pemilu presiden Amerika 2024, sejumlah faktor mendorong sebagian pemilih untuk mempertimbangkan kandidat partai ketiga di luar dua partai utama, yaitu Demokrat dan Republik. Fenomena ini disoroti dalam artikel BU Today berjudul Is Voting for a Third-Party Candidate Effective or Is It a Wasted Vote? (And Other Third-Party Questions) yang ditulis oleh Alene Bouranova.


Arjun Vishwanath, asisten profesor ilmu politik di Universitas Boston, menjelaskan alasan mengapa pemilih cenderung beralih dari dua partai besar dalam pemilu yang kian ketat ini. Menurutnya, salah satu alasan utama adalah ketidaksesuaian ideologi antara pandangan pribadi pemilih dengan platform partai besar. 


Seorang pemilih yang memiliki pandangan libertarian, misalnya, mungkin merasa bahwa Demokrat maupun Republik tidak mampu merepresentasikan pandangan mereka. Begitu juga bagi mereka yang memiliki pandangan seperti sosialis, yang merasa bahwa kedua partai tersebut tidak cukup memadai untuk membawa perubahan yang mereka harapkan.


Dalam konteks pemilu 2024, isu internasional, terutama terkait Israel dan Gaza, menjadi sorotan bagi pemilih yang tidak puas dengan respons pemerintah AS. Vishwanath menyebutkan bahwa sebagian pemilih berpendapat bahwa baik Joe Biden maupun Kamala Harris tidak cukup memperhatikan penderitaan rakyat Palestina. 


Ketidakpuasan ini membuat mereka beralih ke kandidat alternatif, seperti Jill Stein dari Partai Hijau atau Cornel West dari Partai Independen, yang dianggap lebih sejalan dengan pandangan mereka.


"Tipe pemilih kedua adalah mereka yang tidak puas dengan sistem politik Amerika yang lebih luas. Mereka mungkin berpikir bahwa sistem ini dicurangi antara Wall Street dan Washington, semua elitnya sama dan menghasilkan hasil yang serupa, dan seterusnya," ujarnya.


Menurut Bruce J. Schulman, Profesor Sejarah William E. Huntington di College of Arts & Sciences, Universitas Boston, suara untuk partai ketiga umumnya dianggap sia-sia, terutama oleh pendukung dua partai besar. Bagi mereka, suara untuk partai ketiga tidak memberikan kontribusi langsung pada peluang kemenangan salah satu kandidat utama.


"Dengan sistem electoral college ini sangat sangat tidak mungkin kandidat partai ketiga dapat memenangkan Pilpres," katanya.


Namun, pandangan ini bergantung pada tujuan pemilih. Jika tujuan memilih adalah untuk menentukan pemenang, maka suara untuk partai ketiga mungkin tidak efektif. Tetapi jika pemilih ingin menyampaikan pandangan politik atau mengekspresikan pilihan alternatif, suara untuk partai ketiga bisa dilihat sebagai bentuk pernyataan atau protes terhadap sistem yang ada.


Perlu disadari bahwa dunia politik penuh dengan dinamika yang tak terduga, dan tujuan para politisi bisa berubah seiring waktu dan kepentingan. Para pemilih sebaiknya lebih berhati-hati dalam menilai janji dan retorika yang disampaikan, karena tidak jarang kata-kata para politisi dirancang untuk memikat tanpa jaminan pelaksanaan yang nyata.