Permukiman Yahudi di Wilayah Palestina Jadi Salah Satu Sumber Konflik
Jumat, 29 November 2019 | 01:00 WIB
Rakyat Palestina tidak saja mempermasalahkan lahan yang ditempati permukiman Yahudi, tapi juga kebebasan bergerak yang ditimbulkan permukiman.
Sebuah permukiman bisa menyebabkan rakyat Palestina harus melalui sekian banyak pos pemeriksaan, blokade jalan, dan hadangan lain yang dipasang untuk melindungi warga Israel dari milisi Palestina.
Masalah yang lebih besar adalah: keberadaan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur—kedua kawasan yang bakal menjadi wilayah negara di masa mendatang—membuat rakyat Palestina mustahil mewujudkan negara.
Karena itu, Otorita Palestina menuntut Israel menghentikan semua kegiatan permukiman sebelum kedua pihak melanjutkan perundingan damai.
Di lain pihak, Israel menuding Palestina menggunakan topik permukiman sebagai cara menghindari pembicaraan langsung. Israel merujuk kesepakatan perdamaian Oslo yang menyebut topik permukiman ditangguhkan sampai perundingan status final.
Permukiman Yahudi di wilayah Palestina, seperti di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, merupakan salah satu sumber perselisihan antara Israel dan Palestina.
Berdasarkan hukum internasional, tindakan Israel untuk menempatkan warganya di tanah yang diduduki sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967 dikategorikan sebagai pelanggaran.
Amerika Serikat adalah bagian dari konsensus internasional ini dan selalu merujuk permukiman-permukiman tersebut sebagai "tidak sah". Namun, sikap itu berubah pada Senin, 18 November 2019.
Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, menyatakan bahwa AS tidak lagi menganggap permukiman Yahudi di Tepi Barat sebagai tindakan ilegal.
"Menyebut pendirian permukiman warga sipil tidak konsisten dengan hukum internasional, tidak berhasil. Hal itu tidak memajukan upaya perdamaian," ujar Pompeo dikutip NU Online, Jumat (29/11) dari bbc.com.
Otorita Nasional Palestina mengatakan teritori-teritori ini adalah kepunyaan Palestina yang ingin dijadikan sebagai wilayah negara mereka di masa mendatang.
Palestina menolak keputusan AS, yang disebut risiko bagi "stabilitas global, keamanan, dan perdamaian. Palestina bahkan mengancam mengubah hukum internasional dengan "hukum rimba".
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyambut gembira keputusan AS. Menurutnya, perubahan sikap AS "membenarkan kesalahan sejarah" seraya meminta semua negara menempuh langkah serupa.
Pewarta: Fathoni Ahmad