Karakteristik Santri Betawi: Ngaji di Majelis Kitab Kuning sampai Jadi Ulama Besar
Jumat, 25 Oktober 2024 | 13:00 WIB
Ketua RMINU DKI Jakarta KH Rakhmad Zailani Kiki usai Apel Hari Santri di Kantor PCNU Jakarta Utara, Selasa (22/10/2024). (Foto: NU Online Jakarta/Ambar)
Jakarta, NU Online
Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) DKI Jakarta KH Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan karakteristik santri di tanah Betawi.
Ia menjelaskan, para santri Betawi itu mengaji di majelis-majelis kitab kuning yang tersebar di Jakarta.
Kiai Kiki menyebut, majelis-majelis kitab kuning ini sebagai ciri khas pengajian ulama Betawi yang jumlahnya melebihi dari pesantren di Jakarta.
Tak jarang, dari majelis tersebut lahir para ulama-ulama yang tidak berbeda kualitas keilmuannya dengan ulama pesantren di Jawa.
"Kalau pernyataan KH Maulana Kamal Yusuf disebut dengan istilah 'pengajian bersila' artinya nggak ada bangku yang didudukin. Di lantai kiainya baca kitab didengar dan dikhatamin kitabnya," ujar Kiai Kiki, dikutip NU Online Jakarta.
Ia mengatakan bahwa konsep majelis kitab kuning dilaksanakan secara keliling ke beberapa tempat. Ia menilai, banyak ulama-ulama Betawi yang lahir dari konsep pengajian bersila itu.
"Dulu, orang ngaji untuk menjadi seorang alim ulama cukup dengan mengikuti pengajian bersila yang berbeda tergantung kiainya," kata Penulis Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi itu.
Ia mengungkapkan, ada beberapa ulama Betawi yang mengajar di pengajian bersila. Dalam bidang ilmu fiqih ada Muallim Syafi'i Hadzami dan ilmu hadits ada KH Muhajirin Amsar atau Guru Jirin.
Beberapa ulama yang merupakan alumni dari pengajian bersila itu salah satunya KH Abdurrahman Nawi yang kemudian mendirikan Pesantren Al-Awwabin, Depok.
"Bahkan beliau tamatan dari pengajian itu bisa mengarang puluhan kitab kuning misalnya tentang masalah haji. Justru dari pengajian kitab kuning menjadi ulama mendirikan pesantren," ucapnya.
Baca selengkapnya di sini.