Kesehatan

Risiko Konsumsi Balut dalam Perspektif Kesehatan

Selasa, 11 November 2025 | 19:00 WIB

Risiko Konsumsi Balut dalam Perspektif Kesehatan

Ilustrasi telur. (Foto: NU Online/Freepik)

Balut adalah kuliner Filipina berbentuk telur itik yang saat ini banyak dijumpai di Indonesia. Konsumen yang menikmati balut menganggapnya sebagai kuliner ekstrem karena berbeda dari telur yang biasa dikonsumsi di Indonesia. Bedanya, di dalam balut sudah terdapat embrio itik yang wujudnya berbeda-beda tergantung pada usia perkembangan telur itu.

 

Bagaimana dampak konsumsi balut dari sisi kesehatan? Apakah risiko kesehatan konsumsi balut relevan dengan sudut pandang Islam terhadap larangan konsumsi bangkai? Bagaimana aspek ilmiah melalui jurnal riset terkini mengungkap kebenaran ajaran Islam tentang risiko makan balut?

 

Berdasarkan penelitian di Filipina (sebagai negeri asal balut), menunjukkan bahwa konsumsi balut memang sangat berisiko bagi kesehatan. Selama lima tahun, kejadian penyumbatan kerongkongan akibat konsumsi balut mencapai 5% dari keseluruhan kasus impaksi kerongkongan. (Claudio dkk., 2021, Esophageal Impaction of Fertilized Duck Egg Albumen [Hardened Balut White] in a Tertiary Government Hospital in the Philippines: A Case Series, Journal of Southeast Asian Medical Research, 5(2): 99–104).

 

Jurnal tersebut merinci bahwa penyumbatan kerongkongan bisa disebabkan oleh semua bagian balut. Kuning telur maupun putih telur (albumin) yang mengeras, serta embrio yang sudah memiliki organ dalam, menjadi penyebab utama penyumbatan.

 

Pasien yang mengalami gangguan penyumbatan kerongkongan bergejala kesulitan menelan, air liur berlebihan hingga menetes, dan leher kaku. Sebagian di antara pasien tersebut mengharuskan dokter melakukan operasi.

 

Uniknya, balut yang dikonsumsi bisa tersangkut di bagian atas (dekat leher) maupun bagian bawah (rongga dada). Oleh karena itu, gejala ikutan berupa mual, muntah, kesulitan bernapas, hingga nyeri dada tidak terhindarkan.

 

Kerasnya komponen balut yang menimbulkan gangguan kesehatan tersebut memang menunjukkan bahwa produk itu sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Organ-organ yang mulai terbentuk menunjukkan bahwa embrio dalam balut sudah bernyawa. Islam mengenal produk ini sebagai bangkai yang tentu dapat membahayakan orang yang mengonsumsinya.

 

Terbentuknya pembuluh darah memang menjadi indikator bahwa embrio dalam telur itik sudah memiliki nyawa. Pembuluh darah itu tersambung ke jantung karena darah akan mengalir ke seluruh bagian embrio ketika dipompa oleh jantung.

 

Berdasarkan penelitian, jantung telur itik yang ada di dalam balut sudah mulai berdetak pada waktu 46–52 jam setelah inkubasi. (Li dkk., 2019, Comparison of Whole Embryonic Development in the Duck [Anas platyrhynchos] and Goose [Anser cygnoides] with the Chicken [Gallus gallus], Poultry Science, 98(8): 3278–3291).

 

Berdetaknya jantung dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan pada fase embrio. Telur itik yang telah dibuahi kemudian dimasukkan ke dalam mesin penghangat (inkubator) ternyata telah menunjukkan detak jantung di antara hari kedua dan hari ketiga proses inkubasi.

 

Penelitian tersebut relevan dengan pengalaman praktis peternak itik yang sering mengamati bahwa pembuluh darah mulai terbentuk pada hari kedua hingga ketiga (48–72 jam) setelah telur diinkubasi. Dalam praktik pembuatan balut, biasanya telur yang digunakan telah dieramkan sekitar 14–21 hari. Dengan waktu tersebut dan adanya organ-organ yang mulai terbentuk, terbukti bahwa di dalam telur yang akan dibuat balut telah terdapat embrio itik yang bernyawa.

 

Proses pemasakan balut sebenarnya cukup sederhana, yaitu dengan direbus dalam air mendidih selama beberapa menit. Setelah itu, balut dikonsumsi dengan menambahkan garam, cuka, atau rempah-rempah seperti cabai. Tidak jarang, konsumen balut menjumpai adanya organ paruh maupun bulu yang mulai terbentuk di dalam balut.

 

Keberadaan paruh dan bulu pada balut yang telah matang memperkuat fakta bahwa produk makanan tersebut berisi anak itik yang dimatikan dengan pemanasan. Darah yang mengalir di dalam embrio itik sebagai bukti keberadaan kehidupan otomatis terhenti karena adanya perebusan balut, sekaligus menandai proses kematian.

 

Makanan yang diidentifikasi sebagai bangkai (salah satunya hewan yang mati bukan karena disembelih, termasuk yang mati karena dipanaskan) tentu diharamkan dalam agama Islam. Dalam surat Al-Baqarah ayat 173, Allah Subḥānahu wa Taʿālā dengan jelas melarang kaum Muslimin memakan bangkai:

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 

Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 173)

 

Darah yang tidak keluar dari tubuh hewan yang dijadikan makanan juga menjadi salah satu ciri khas bangkai. Darah itu menjadi makanan bagi bakteri pembusuk dan berbagai bakteri berbahaya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila balut juga diperkirakan menyimpan potensi infeksius dari bakteri yang ada di dalamnya.

 

Telur balut diketahui merupakan makanan yang berpotensi berbahaya karena kemampuannya yang tinggi dalam memperoleh sejumlah besar organisme bakteri melalui penularan transovarial (Lea dkk., 2016, Effect of Various Heating Times and Boiling Point Temperatures on the Bacterial Load of Balut, Skripsi, Institute of Clinical Laboratory Sciences, Silliman University, Dumaguete, Negros Oriental, Philippines).

 

Selain bahaya akibat bakteri, ternyata pola konsumsi balut sering disertai dengan konsumsi minuman beralkohol. Hal ini tidak mengherankan karena dalam budaya aslinya, penikmat balut menjadikan makanan ini sebagai makanan jalanan sambil minum minuman keras. Hal ini menunjukkan bahwa budaya makan balut berasal dari nonmuslim.

 

Berkaitan dengan konsumsi balut yang menjadi tradisi orang-orang nonmuslim, maka selayaknya dijauhi oleh kaum Muslimin. Apabila dilihat dengan kacamata keislaman dan aspek risiko kesehatan yang dapat membahayakan berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka balut sebaiknya tidak dikonsumsi oleh umat Islam. Wallāhu a‘lam.

 

Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi.