Aksara Pegon adalah sesuatu yang tidak asing di Nusantara, apalagi di pesantren-pesantren salaf. Pegon sendiri berasal dari bahasa Jawa pego, yang berarti menyimpang atau serong (karena menyimpang dari literatur Arab maupun Jawa).
Disebut juga sebagai aksara gondhil atau gundhul yang berarti tidak berharokat. Kalangan pesantren sering menyebutnya Arab Pegon, sedangkan di kalangan lebih luas disebut Arab Melayu.
Huruf Arab Pegon merupakan huruf arab yang telah mengalami transliterasi dan diberi tanda tertentu, yang digunakan di pesantren untuk memaknai kitab kuning dengan metode bandongan. Guru membaca dan murid menulis.
Contohnya di Pondok Pesantren Al Hikmah, Kedaton, Bandar Lampung, yang menggunakan Aksara Pegon, yang dipadukan dengan aksara latin, terdiri huruf vokal dan konsonan yang berjumlah 30 huruf, dari huruf Alif hingga Ya. Sampai-sampai orang yang asli Arab sendiri tidak bisa membaca aksara pegon, meskipun sama-sama dengan huruf Arab.
Lalu siapa sebenarnya pencipta atau penggagas aksara pegon itu sendiri? Menurut suatu catatan, huruf Arab Pegon muncul sekitar tahun 1400 M yang digagas oleh Sunan Ampel di Pesantren Ampel Denta Surabaya.
Menurut pendapat lain, penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga yang mengatakan bahwa huruf Arab Pegon ini ditemukan oleh Imam Nawawi Banten.
Akan tetapi mayoritas santri dan kiai menyepakati bahwa aksara pegon mulai ada sejak era Wali Songo, Sunan Ampel Surabaya. Dari Ampel kemudian mulai menyebar ke seluruh Nusantara dengan dialek, pelafalan dan tata cara penulisan yang disesuaikan dengan daerah setempat.
Sejak abad ke-16 masehi, bahasa Melayu telah ditulis dengan aksara Arab Pegon untuk berbagai keperluan, seperti menulis surat-surat perpajakan, aturan perundang-undangan, surat perjanjian, kitab-kitab keagamaan dan sebagainya.Dan hampir masyarakat di Nusantara, khususnya Jawa dan Sumatera, ketika menulis sesuatu, langsung dengan dua aksara, pertama aksara daerah, kedua aksara pegon.
Selain Indonesia, wilayah yang masih tergolong Nusantara dan juga menggunakan aksara pegon yakni Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Ternyata aksara yang serupa dengan pegon tidak hanya ada di Nusantara, akan tetapi tradisi menulis bahasa lokal dengan aksara Arab juga dilakukan dibelahan dunia yang lain, seperti di Spayol yang tulisan Arabnya dikenal dengan aksara Aljamiado, tulisan berbahasa Spanyol yang menggunakan aksara Arab.
Tulisan ini diperkenalkan oleh orang Arab di Spanyol pada abad ke-16. Di daratan China juga dikenal dengan aksara Xiaorjin atau Xiaojing, aksara Arab-Persia yang diadopsi oleh Muslim Tiongkok waktu itu. Memiliki 43 huruf yang mempresentasikan huruf Arab dan huruf Tiongkok.
Tulisan Arab-China ini diciptakan oleh Hu Dengzhou, seorang saudagar dan pemilik madrasah di Shaanxi.
Karena pengaruh jaringan ulama Nusantara yang begitu luas, sehingga aksara pegon juga berkembang dengan pesat. Bahkan hingga saat ini warisan penulisan dengan aksara pegon masih dilestarikan oleh berbagai kalangan, seperti pondok pesantren, TPA, madrasah diniyyah, dan sebagainya.
Pada era sebelum kemerdekaan, penduduk Muslim Indonesia lebih banyak menggunakan aksara pegon dalam kehidupan sehari-hari, dari pada aksara lokal. Andaikata Indonesia tidak dijajah oleh Kolonial Belanda, kemungkinan aksara yang dipakai justru pegon dan aksara lokal, bukan aksara Latin.
Memang sejak dahulu, ulama Nusantara sudah banyak yang menuliskan karyanya menggunakan aksara pegon. Diantaranya bisa kita temukan seperti kitab Suluk Sunan Bonang (Head Book Van Bonang), Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, kitab Saris as-Salikin (Kitab Sarah Ihya Ulumuddinya Al-Ghazali, Karya Syeikh Abdul Shamad Al Palimbangi ), kitab Tafsir Mbah Soleh Darat Semarang, dan kitab-kitab yang tersebar di seluruh pondok pesantren salafiyah di Jawa, Madura, Kalimantan dan Sumatera.
(Yudi Prayoga, Santri Pondok Pesantren Al Hikmah, Kedaton, Bandar Lampung)