Awal Waktu Subuh di Indonesia Terlalu Cepat? Begini Penjelasan Lembaga Falakiyah PBNU
Sabtu, 6 Desember 2025 | 06:00 WIB
Jakarta, NU Online
Isu mengenai waktu shalat Subuh di Indonesia yang dianggap terlalu cepat hingga 30 menit kembali mencuat setelah diulas dalam podcast di kanal Youtube Forum Keadilan TV, pada Ahad (30/11/2025) lalu.
Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muh Ma'rufin Sudibyo memberikan tanggapan atas isu tersebut. Menurutnya, hal ini terjadi perbedaan karena beberapa faktor, di antaranya data yang diperoleh peneliti tersebut berasal dari instrumen yang tercemar atau tak terkalibrasi.
"Peneliti mecampuradukkan semua data yang diperolehnya tanpa pandang bulu, sehingga data-data dari lokasi yang tercemar atau data-data dari instrumen yang tak terkalibrasi alias tidak dibantu dikomparasikan dengan penglihatan mata, diambil begitu saja. Ketika data yang tercemar (bias) dimasukkan, maka hasil kesimpulannya juga tidak lagi akurat," ujarnya kepada NU Online, Jumat (5/12/2025).
Selain itu, menurutnya, peneliti tersebut tidak mematuhi metode ilmiah yang sudah baku dalam penelitian-penelitian ilmu falak atau astronomi secara umum. Ia kemudian menceritakan proses pengamatan awal waktu Subuh di lingkup LFNU.
"Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama tidak pernah menghitung kapan waktu Subuh terjadi, melainkan mengamati dan menjadikan hasil pengamatan itu sebagai rujukan dalam perhitungan," ujarnya.
Pengamatan tersebut, kata Ma'rufin, telah diselenggarakan dalam tempo cukup lama oleh ahli-ahli falak NU, yakni sejak 2010 dan masih terus berlangsung hingga saat ini.
"Dalam kurun waktu 2010-2020 saja diperoleh 249 himpunan data pengamatan fajar oleh 8 peneliti atau kelompok peneliti. Kedelapan penelitian itu dilaksanakan dengan standar ketat dan mematuhi metode ilmiah yang sudah teruji. Sebagian diantaranya bahkan sudah diujikan sebagai tesis hingga disertasi oleh para peneliti terkait," jelasnya.
Ma'rufin kemudian menjelaskan bahwa semua pengamatan itu berbasiskan instrumen, yang terbagi ke dalam dua jenis.
Pertama, instrumen CCD/CMOS seperti biasa terdapat dalam kamera digital/sensor teleskop. Kedua, instrumen SQM, yaitu instrumen standar astronomi modern untuk mengukur intensitas cahaya langit. Hal itu menurutnya telah dikembangkan secara inovatif untuk mengukur cahaya fajar.
"Penggunaan instrumen ini lebih baik ketimbang hanya semata mengandalkan kamera CCTV dengan resolusi rendah di lokasi yang terganggu, seperti perkotaan atau tepi kota. Sebagaimana dilakukan peneliti yang mengklaim waktu Subuh terlalu cepat 30 menit itu," terangnya.
Ma'rufin juga menekankan bahwa target pengamatan cahaya fajar dalam LFNU adalah mendeteksi apa yang dinyatakan dalam fikih sebagai fajar shadiq (fajar nyata) dan fajar kadzib (fajar semu). Fajar nyata tersebut, kata Ma'rufin, bersifat melebar di ufuk dan terus bertambah terang dengan konsisten.
"Fajar nyata merupakan patokan awal waktu Subuh dan awal waktu berpuasa Ramadhan sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi dan pendapat para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Sebaliknya, fajar semu bersifat terpusat di satu lokasi, menjulang (vertikal) ke atas dan bukan patokan awal waktu Subuh/berpuasa. Ciri-ciri fajar semu tersebut mengikuti yang disabdakan Nabi," jelas Ma'rufin.
Dalam pengamatan LFNU, Ma'rufin menyatakan bahwa para peneliti berhasil mengidentifikasi cahaya fajar semu, yang ternyata selaras dengan fenomena cahaya zodiak dalam astronomi.
Selain itu, Ma'rufin menyampaikan bahwa para peneliti juga berhasil mengidentifikasi cahaya fajar nyata dan membedakannya dengan cahaya fajar semu.
"Batas ketinggian Matahari pada saat fajar nyata mulai dideteksi di Indonesia adalah pada ketinggian minus 19,576 ± 0,943°. Setelah dibulatkan dan di-ihtiyath-kan sesuai ketentuan fikih, maka ditemukan bahwa untuk kepentingan praktis kita bisa menggunakan ketinggian Matahari minus 20° sebagai patokan awal waktu Subuh Indonesia," ujarnya.
Kata Ma'rufin, perbedaan instrumen dan metode penelitian itulah yang membedakan dengan peneliti di luar NU yang mengklaim waktu Subuh terlalu awal 30 menit.
Terkait sosialisasi kepada masyarakat perihal isu yang berulang itu, Ma'rufin menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukannya tetapi dalam lingkup terbatas.
"Ini isu berulang, sehingga memang butuh sosialisasi permanen. LFNU sudah melakukan sosialisasi kemarin-kemarin, tetapi memang masih terbatas. Mengingat awalnya permasalahan ini dianggap sebatas persoalan beda pendapat di kalangan ahli falak saja," tutupnya.